Kamis, 19 Juni 2014

Mom and Me: Duet Pipiet Senja dan Adzimattinur Siregar


Judul: Mom and Me
Penulis: Pipiet Senja dan Adzimattinur Siregar
Penerbit: Indiva  Media Kreasi
Tahun terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2007
Jumlah halaman: 208; 20,5 cm
ISBN: 978-979-1397-04-X

“Bingung cara curhat sama ibu kamu? Bingung cara ngungkapin semuanya sama ibu kamu? Gak usah bingung, simak aja buku terbaru curhatan Butet dan ibunda tercinta, Pipiet Senja. Ditanggung asyik buat disimak. Mom & Me memang renyah dan penuh gizi.” (Fahri Azisa, Penulis Skenario OB-RCTI)


Adzimattinur Siregar: Gals, merasa jadi makhluk paling bête karena ke mana pun kamu pergi, sepasang mata Mom kamu sekaan bertebaran di mana-mana? Ngerasa sebel karena setiap apa  yang kamu lakukan, Mom kamu selalu saja berkomentar.. cerewet.. banyak tanya.. ugh! Padahal kamu bisa CS-an dengan kompak, keindahan cinta yang terekspresikan bisa menjadi cerita cinta termegah sepanjang sejarah hidup kamu.

Pipiet Senja: Keindahan bagi seorang ibu adalah ketika menyaksikan buah hatinya tumbuh dewasa keharuan membuncah, ketika sosok mungil yang dulu kita dekap hangat, kini tumbuh menjadi putri jelita penuh pesona. Akan tetapi, keremajaan nyaris identik dengan masalah. Perbedaan pola pikir sering membuat para ibu tenggelam dalam ketidakmengertian. Maka, taman bunga kasih sayang tercemar perselisihan. Buku ini akan membuat Anda terinspirasi, agaimana mengekspresikan cinta yang paling indah dan tepat untuk putri jelita Anda.

Konon katanya, anak laki-laki itu kesayangan ibunya, anak perempuan itu kesayangan ayahnya. Dengan kata lain, anak perempuan sering kali gak cocok sama ibunya. Mungkin karena sejenis, jadi bersaing mana yang lebih cantik, xixixi…. Apa benar begitu? Hmmm… Pipiet Senja dan Adzimattinur Siregar (Butet), ibu dan anak yang sama-sama penulis ini menceritakan kekompakan hubungan mereka di dalam buku ini. Konsep bukunya cukup unik, karena kover depan belakang dibuat saling terbalik. Kover depan adalah Pipiet Senja dan Butet, dengan wajah Butet menghadap ke belakang. Kover belakang adalah Pipiet Senja dan Butet dengan  wajah Pipiet Senja yang menghadap ke belakang. Tulisannya juga dibikin terbalik. Ternyata isi ceritanya pun dibuat dua versi: versi Pipiet Senja dan versi Butet. Dengan begitu, pembaca bisa menilai sejauh mana kekompakan ibu dan anak ini.

Pipiet Senja mulai bercerita awal mula ketika Butet lahir ke dunia. Tidak mudah bagi Pipiet Senja untuk menjalani kehamilannya, karena beliau memiliki penyakit Thallasemia, kelainan darah bawaan. Kehamilannya harus dipantau oleh dokter secara intensif. Butet adalah kehamilan yang keempat, karena yang dua keguguran, yang satunya lagi adalah kakak Butet, Haekal Siregar. Keluarga penulis ini memang sudah terkenal berkat buku-buku mereka. Pipiet Senja banyak mengalami ujian dan cobaan selama masa kehamilannya. Dan akhirnya, lahirlah Butet, yang melengkapi kehadiran sepasang bintang di rumah Pipiet Senja.

Ada banyak kelucuan, kepedihan, dan kegembiraan yang dituturkan oleh Pipiet Senja tentang Butet. Misalnya, ketika Butet menghilang di rumah sakit saat Pipiet Senja sedang mengurus administrasi Askes. Yang paling menyentuh adalah saat Butet berjanji tak mau ditemani mamanya karena mamanya harus kerja mencari uang dengan menulis. Butet malah marah ketika mamanya datang menjemput di tempat acara perlombaan menggambar.

“Sini Nak, ayo kita pulang,” ajakku, mengembangkan kedua tangan, bingung.
“Gaaak! Butet mau pulang sendiri!” bantahnya sambil terus menghindariku.
“Bilang, Cinta… tolong ya, Nak.. apa salah Mama?” pintaku, niscaya terdengar memelas.
“Mama itu salah! Mama gak bisa pegang janji! Kan Mama sudah janji, Butet juga sudah janji… Kenapa Mama jemput Butet? Jangan jempuuuut!” (halaman 46)

Butet juga harus menyaksikan pertengkaran Papa dan Mama-nya sedari kecil karena hubungan pernikahan yang tidak harmonis. Butet bahkan memprovokasi mamanya agar bercerai saja dengan papanya, karena sudah tak tahan melihat penderitaan mamanya.

“Jangan biarkan diri Mama menghamba terus kepada orang yang tak pernah menghargai pengabdian Mama….”
“Kata Mama demi anak-anak? Jangan pernah bilang begitu, jangan pernah mengatasnamakan anak-anak lagi….”
“Butet lebih suka Mama bahagia demi diri Mama sendiri….”
“Tinggalkan segala penderitaan ini dan raih kebahagiaan Mama sendiri!” (halaman 63)

Selain cerita masa kecil Butet, juga ada cerita masa abg-nya di mana Butet menjelma menjadi gadis Batak-Sunda yang cantik dan cerdas sehingga banyak cowok yang “menembak.” Butet bahkan bercita-cita menjadi pengacara (dan akhirnya, Butet memang menjadi Sarjana Hukum) untuk membela ibu-ibu yang ditindas suaminya. Selain bercita-cita menjadi pengacara, Butet juga mewarisi kemampuan ibunya dalam menulis, walaupun kegiatan itu semata hobi.

Kemudian, kita beralih ke cerita Butet tentang mamanya, Pipiet Senja. Cerita Butet ini lebih banyak diisi oleh kepedihan, barangkali karena dia melihat sendiri kondisi rumah tangga orang tuanya. Butet menceritakan kehidupan sosialnya semasa kecil yang kurang bagus, karena sering diejek, seperti:

“Ibu loe sakit kuning!”
“Setan kali tuh nyokapnya!”
“Kuning-kuning, tahiii!”
“Penyakit kutukan!”        
“Iiih… anak kuntilanak!” (halaman 11)

Ya, Butet sering diejek karena kondisi mamanya yang sakit-sakitan. Dia membela harga diri mamanya dengan melawan anak-anak itu. Rupanya, itulah rahasia yang disembunyikan Butet. Seorang gadis tomboy yang suka berkelahi dan memanjat pagar sekolah.

“Kalau dipikir-pikir, aku bakat jadi preman nih. Ada yang butuh tenaga preman?” (halaman 32)

Butet juga menikmati bakat menulis yang diturunkan Mama kepadanya. Dia bisa menerbitkan buku dan mendapatkan honor sebagai pembicara, sejak usia belasan. Butet pun menceritakan mimpi-mimpinya, dari menjadi boneka Barbie, tukang gorengan, sampai akhirnya bermimpi untuk kuliah di Jerman, mimpi yang rasanya sulit untuk diwujudkan mengingat kondisi perekonomian mereka yang pas-pasan.

Butet juga menyisipkan sedikit perasaan hatinya kepada papanya yang selama itu telah menyakiti mamanya. Dia ingat ketika ikut menggigit kaki papanya yang sedang menganiaya mamanya. Walaupun kehidupan mereka penuh duka, tapi masih ada terselip kebaikan Papa yang membekas di hati Butet.

Membaca buku ini seperti mendengarkan Butet dan  Pipiet Senja menceritakan sebagian kisah hidup mereka. Butet menceritakan tentang mamanya, dan Pipiet Senja menceritakan tentang putri semata wayangnya. Gaya bercerita Pipiet Senja layaknya seorang ibu yang sedang heboh menceritakan anaknya. Sedangkan gaya bercerita Butet, benar-benar khas ABG, dengan bahasa gaul dan segala problematika remaja. Membaca buku ini, kita jadi tahu bahwa hubungan ibu dan anak perempuannya bisa terjalin dengan baik, tak harus saling menyimpan bara. Ibu bisa menjadi sahabat putrinya, dan putrinya bisa menjadikan ibu sebagai sosok yang hangat untuk dipeluk. Kehadiran seorang ibu bagi putrinya adalah sangat esensial, karena seorang anak perempuan amat sangat membutuhkan ibunya, terutama saat memasuki masa remaja dan dewasa.

“Cinta kasih ibu akan terus mengalir selalu, selama-lamanya… Hingga tujuh samudera dan tujuh lapisan langit menyatu dan membeku….” (Pipiet Senja, halaman 104)

“Galz.. kamu juga bisa ngelakuinnya kok dengan ibu kamu. Coba deh, mulai dengan dua kata: cinta dan doa buat ibu kamu. Dijamin… greeenk!” (Adzimattinur Siregar, halaman 98)
                                                                                                                                                      


1 komentar:

  1. Wah, baru lihat nih postingannya, pleeekkkkk! Saya dan butet yg kini sdh punya momongan satu tahun, pagi ini ngekeh sambil menitikkan air mata. Haru biru, Mama masih hidup euy, katanya sambil mencium pipiku.

    BalasHapus