Judul:
Haji Backpacker 2, 12 Juta Naik Haji
Penulis:
H. Aguk Irawan MN
Penerbit:
Edelweiss
Tahun
Terbit: Cetakan I, Desember 2010
Jumlah
halaman: 268
ISBN:
978-602-8672-19-1
Gara-gara
buku Haji Backpacker difilmkan, saya jadi membaca ulang buku ini. Sudah lama
saya mendapatkan buku ini dari hadiah giveaway di blog, tapi belum selesai
dibaca karena bagian openingnya agak kurang mengundang untuk membacanya.
Apalagi pas suami saya yang sudah membacanya sebagian, bilang, “ah, itu sih
(cara naik hajinya) cuma bisa untuk mahasiswa aja.” Setelah membaca buku ini,
baru saya mengerti kenapa suami ngomong begitu.
Naik
haji, siapa yang nggak mau? Kalau nggak mau berarti bukan muslim atau
kemuslimannya dipertanyakan. Saya juga mau naik haji, mau pakai banget.
Mudah-mudahan Allah swt memanggil saya menjadi tamu-Nya di Baitullah dengan
jalan yang tak disangka-sangka. Dari judulnya, buku ini mengundang muslim yang
ingin naik haji, karena biayanya yang terkesan murah. 12 juta naik haji?!
Sedangkan, biaya naik haji sekarang ini sudah di atas 50 juta dan nunggu
antriannya bisa bertahun-tahun.
Aguk
Irawan menceritakan pengalaman keduanya naik haji dengan biaya sangat
murah. Yang pertama diceritakan dalam
buku Haji Backpacker, tapi saya malah
belum baca tuh. Yang kedua ini, Aguk masih menjadi mahasiswa di Universitas Al
Azhar, Mesir. Bagi kalangan mahasiswa Mesir, naik haji sebenarnya mudah, tapi
hanya boleh 5 tahun sekali. Jarak Mesir ke Mekkah kan lebih dekat daripada
Indonesia ke Mekkah. Masalahnya, Aguk sudah naik haji tahun sebelumnya, jadi
dia nggak boleh lagi naik haji. Dia pun menyiasatinya dengan naik haji dari
Indonesia! Lho, bukannya malah tambah mahal?
Mestinya
pengalaman Aguk ini bisa menjadi inspirasi buat kita, tapi ternyata tidak.
Jadinya, buku ini hanya sekadar ajang berbagi cerita aja dan kita bisa ambil
hikmahnya. Ada juga panduan manasik haji yang bisa membuka wawasan kita,
terutama bila kita belum pernah naik haji. Namun, pengalaman naik haji dengan
biaya 12 juta itu rasanya nggak bisa kita ikuti. Ini dia alasannya:
Pertama,
Aguk nggak punya ongkos sama sekali untuk naik haji, jadi dia meminjam uang
dari sana-sini. Di Mekkah, rencananya dia akan bekerja sebagai apa saja agar
bisa mengembalikan utangnya. Saya nggak tahu juga sih, bolehkah kita naik haji
dengan berhutang? Tapi, rasanya, berhutang itu nggak bikin kita tenang.
Rasulullah juga melarang kita untuk berhutang, kalau nggak terpaksa. Dan
berhaji, bukan ibadah yang memaksa, bila kita belum mampu.
Kedua,
Aguk memakai paspor hijau, alias paspor perjalanan biasa. Kalau jamaah haji
normalnya pakai paspor cokelat. Cara Aguk itu ternyata sudah dilarang oleh
Kemenag, jadi caranya illegal. Kalau ketahuan, ya bisa ditangkap. Aguk juga
memanfaatkan jasa Diplomat Indonesia untuk Malaysia, dengan mengaku sebagai
bagian dari keluarga. Jadi, Aguk berangkat dari Malaysia bersama pekerja KBRI
dan mahasiswa Indonesia di Malaysia.
Ketiga,
sampai di Bandara Saudi, Aguk dan kedua temannya terlunta-lunta nggak bisa
lolos dari Bandara karena nggak punya rusum dan naqabah (tiket transportasi),
bahkan membohongi petugas bandara dengan mengaku hilang. Lalu, akhirnya
merepotkan teman-teman mahasiswa Mesir yang bekerja sebagai Temus (Tenaga Musim Haji) untuk patungan membelikan
mereka rusum.
Jadi,
benar kata suami saya, naik haji modal 12 Juta dari Aguk ini nggak bisa diikuti
kita, apalagi kalau kita bukan mahasiswa Mesir dan nggak punya teman-teman yang
bekerja sebagai Temus. Selama perjalanan hajinya, Aguk banyak mendapatkan
pertolongan dari teman-teman Temus. Nah, kalau saya naik haji dengan cara Aguk,
siapa yang menolong saya karena saya nggak punya teman-teman Temus? Kecuali,
tentu saja Allah Swt yang memanggil saya, sehingga saya bisa naik haji dengan
biaya minim atau malah gratis. ‘
Mulanya
saya memang nggak sreg dengan cara Aguk naik haji ini, yaitu dengan meminjam
uang dan meminta pertolongan dari teman-teman Temus, tapi kemudian ketika Aguk
mengesampingkan nafsu duniawinya (naik haji sambil mencari uang di Mekkah untuk
biaya kuliah) untuk menolong jamaah haji yang ditelantarkan oleh sebuah
perusahaan travel, saya mulai bersimpati kepada Aguk. Ternyata, penulis ini
nggak hanya mikirin uang. Terbukti, dia mau menjadi pemandu haji bagi jamaah
travel yang ditinggal pembimbing hajinya itu, tanpa dibayar. Aguk tidak meminta
bayaran. Bahkan, di pertengahan, dia rela bekerja keras, menjadi pemandu tanpa
bayaran dan pemandu bayaran sekaligus, untuk jamaah haji lain.
Di
bagian itulah, cerita ini terasa inspiratif. Aguk memandu jemaah haji yang
terlantar dengan tulus dan ikhlas. Saya juga mendapatkan pelajaran, agar kelak
kalau mau naik haji, jangan sembarangan pilih travel. Banyak travel yang tidak
amanah. Uang diterima, tapi jemaah haji hanya diantar sampai bandara Saudi,
lalu ditinggalkan. Akibatnya, tidak dapat penginapan yang layak, makan
pas-pasan, dan tidak ada pemandu jalan, padahal bayarnya ONH Plus. Pertolongan Aguk
kepada jemaah haji yang terlantar itu membuahkan hasil yang manis. Untung saja
Aguk mau menolong jamaah haji itu ketimbang ngotot nyari kerja.
Selama
menjadi pemandu haji, Aguk menjelaskan sejarah-sejarah dari tempat-tempat yang
mereka kunjungi, misalnya saja Gua Hira, Jabal Nur, Jabal Rahmah, Melempar
Jumrah, dan sebagainya. Ini tentu saja membuka wawasan kita tentang sejarah
Islam. Setelah membaca buku ini, saya
jadi makin kepingin naik haji. Semoga Allah Swt memanggil kita ke
rumah-Nya dengan mudah, aamiiin…..
Iya, Mbak. Sama. Waktu baca saya juga mikir cara backpackernya nggak bisa dijalankan orang biasa ky sy. Buku pertamanya juga sama, haji backpacker dari Mesir. Karena dia mahasiswa di Mesir. Filmnya itu katanya makai judulnya doang, isinya nggak sama. Nanti ada film Haji Backpacker 2, baru deh isi buku ini yang difilmin.
BalasHapusBtw, sekarang naik haji pakai paspor hijau :D Penggunaan paspor cokelat terakhir kalau tidak salah tahun 2008 lalu :D