Rabu, 29 Oktober 2014

Maryamah Karpov


Judul: Maryamah Karpov
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Ketiga, Desember 2008
Jumlah Halaman: xii + 504
ISBN: 978-979-1227-45-2

“Jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat ayahmu, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini: sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadapi gunungan timah, mengumpulkan napas, menghela tenaga, mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya. Aku menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada ayahku dan kepada kaumku. Kini Tuhanku telah memeluk mimpiku. Atas nama harkat dan kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani.”


Maryamah Karpov adalah karya terakhir dari Tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal. Sebuah karya perdana dari seorang Andrea Hirata, yang seketika melejit bahkan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, karena membawa misi pendidikan. Andrea Hirata melalui tokoh Ikal, yang merupakan representasi masa kecilnya, membuktikan bahwa seorang anak buruh timah pun bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dan pendidikan itu penting baginya, untuk menegakkan harkat dan martabatnya agar tidak mengulang pengalaman pahit ayah dan ayah ayahnya.

Tentu hal ini kontradiktif dengan menteri Perikanan dan Kelautan yang baru saja terpilih untuk periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang hanya lulusan SMP. Lihatlah, Andrea, Ibu Susi bisa menjadi Menteri walaupun bukan lulusan sarjana luar negeri. Lalu, apakah kemudian kita menafikkan latar belakang pendidikan Andrea Hirata sebagai penyebab keberhasilannya? Setiap orang memiliki jalan nasib yang berbeda. Memang ada beberapa orang yang putus sekolah, bisa meraih kesuksesan luar biasa, tapi lebih banyak dari mereka yang terpuruk dalam kemiskinan.

Di buku keempat ini, Andrea kembali mengisahkan “kehidupannya” yang berbaur dengan imajinasi dalam sebuah Novel Biografi. Novel adalah sebuah karya fiksi atau rekaan. Lalu, bagaimana jika novel itu bercampur dengan biografi penulis atau tokoh yang diangkat? Maka, beberapa bagian adalah nyata, beberapa sisanya adalah fiksi. Entah lebih besar mana dominasinya antara yang fiksi dan nyata.

Andrea telah berhasil menamatkan kuliah S2-nya di Perancis, bidang ekonomi. Suatu lompatan besar bagi seorang anak buruh PT. Timah yang gajinya tak naik-naik selama 30 tahun. Orangtuanya sudah tentu bangga, dan berharap Ikal, panggilan masa keil Andrea dikarenakan rambutnya yang ikal, mendapatkan pekerjaan dengan jabatan tinggi, melebihi pekerjaan bapaknya. Kenyataannya, Ikal malah tak juga mendapatkan pekerjaan, sedangkan nasib Arai, sepupunya, yang juga kuliah di Perancis, jauh lebih baik. Arai belum menyelesaikan kuliahnya karena sakit, tetapi cintanya yang tiba-tiba mendapatkan sambutan dari Zakiah, cinta pertamanya sejak SMA, membuat Arai bersemangat meneruskan kuliahnya, bahkan kemudian menikah dengan Zakiah dan memboyong istrinya ke Perancis.

Kisah Ikal dan Arai saat tinggal di Bogor kemudian kuliah di UI, sudah saya baca di bagian kedua: Sang Pemimpi. Saat itu, saya begitu menikmati perjuangan Ikal dan Arai menyelesaikan S1. Tidak demikian dengan novel ini. Penulis bertindak sebagai narrator, sehingga sebagian besar cerita didominasi oleh narasi. Dan meskipun pada judul tertulis: Mimpi-Mimpi Lintang, tetap saja cerita kehidupan Ikal lebih dominan. Dalam Maryamah Karpov, saya meragukan kebenaran ceritanya. Agaknya, nyaris 90 persen adalah fiksi, karangan Andrea Hirata. Pertama, tentang nama Andrea Hirata yang disebutnya sebagai  nama asli, pemberian orang tuanya. Pada kenyataannya, nama itu adalah nama pena sang penulis. Nama asli Andrea Hirata adalah: Aqil baraq Badruddin Seman Said Harun (Wikipedia).

“Aku dipanggil si Ikal, lantaran rambutku ikal. Mereka tak pernah tahu nama asliku, tak mau tahu lebih tepatnya, dan mereka tak paham bahwa nama asliku tak main-main. Nama itu diambil dari nama orang Italia, meski orang Italia itu sinting.” (halaman 178).

Yang dimaksud nama orang Italia adalah “Andrea,” tidak mungkin Aqil. Andrea bermaksud menjelaskan bahwa nama asli dari orang tuanya adalah Andrea, di luar mainstream kebanyakan orang Melayu dalam menamakan anak-anaknya. Padahal, kenyataannya, nama aslinya sama saja dengan nama asli kebanyakan orang Melayu yang berbau Islam.

Kedua, perjalanan Andrea kemudian terfokus pada pencarian cinta pertamanya, A Ling, yang menghilang dan konon pergi ke Pulau Batuan, mencari kehidupan yang lebih baik bersama orang-orang keturunan Tiongkok lainnya. Kisah ini lebih mendekati fiksi. Agak sulit diterima akal juga, seorang Andrea hanya terfokus pada cinta pertamanya, setelah bertahun-tahun melanglang buana. Apakah tak ada wanita lain yang menempati hatinya? Apalagi kemudian kisah heroik Andrea di lautan, dari mulai membuat kapal sendiri hingga berlayar ke Batuan, lebih mirip cerita fiksi fantasi.

Ketiga, kisah bombastis Andrea yang membuat perahu sendiri, belakangan dibantu oleh teman-teman masa kecilnya, pasukan Laskar Pelangi, yah walaupun bisa saja membuat perahu sendiri tapi pengisahan Andrea sungguh-sungguh seperti fiksi. Terlebih saat Andrea menyelam ke laut demi mencari bangkai perahu kuno dan mengambil kayu seruknya. Saya sulit membayangkan itu terjadi di dunia nyata. Yang terlintas justru adegan film fiksi fantasi.

Agak sulit menyelesaikan membaca novel ini, karena menurut saya ceritanya bertele-tele dan kurang menghibur. Tidak seperti dalam “Sang Pemimpi” dan “Edensor” yang bisa membuat saya tertawa-tawa sekaligus tersipu-sipu sekaligus. Bagian yang menghibur ada pada adegan Ketua Karmun, Kepala Desa teladan, yang berusaha mencari pasien untuk dokter gigir baru di desa mereka. Tak ada seorang pun yang mau diperiksa sang dokter gigi hingga nyaris berpindah profesi. Semua orang masih mengandalkan dukun gigi. Bagian menghibur lainnya, ada pada penyebutan julukan-julukan yang menjadi kebiasaan orang Melayu.
 
“Muas yang berkulit gelap digelari Muas Petang 30. Rustam yang bekerja di koperasi Maskapai Timah dijuluki Rustam Simpan Pinjam. Munawir mengemban amanah majelis tinggi BKM (Badan Kemakmuran Masjid) Al Hikmah selaku tukang mengumumkan jika umat meninggal dunia, dijuluki Munawir Berita Buruk. Mahmuddin yang pelupa dijuluki Mahmuddin Pelupa.” (halaman 178-181).

Gaya bercerita khas Melayu sangat kental, mengingatkan kita akan sastra-sastra lama seperti Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan. Hanya saja, proses pembuatan perahu yang panjang dan bertele-tele amat membosankan.

1 komentar: