Judul:
Maryamah Karpov
Penulis:
Andrea Hirata
Penerbit:
Bentang Pustaka
Tahun
Terbit: Cetakan Ketiga, Desember 2008
Jumlah
Halaman: xii + 504
ISBN:
978-979-1227-45-2
“Jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk
sekolah setinggi-tingginya demi martabat ayahmu, aku dapat melihat diriku
dengan terang sore ini: sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal, yang kelihatan
hanya mataku, memegang sekop menghadapi gunungan timah, mengumpulkan napas,
menghela tenaga, mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib,
menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya. Aku menolak
semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada ayahku dan kepada kaumku.
Kini Tuhanku telah memeluk mimpiku. Atas nama harkat dan kaumku, martabat
ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang
hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani.”
Maryamah
Karpov adalah karya terakhir dari Tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal. Sebuah
karya perdana dari seorang Andrea Hirata, yang seketika melejit bahkan
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, karena membawa misi pendidikan. Andrea
Hirata melalui tokoh Ikal, yang merupakan representasi masa kecilnya, membuktikan
bahwa seorang anak buruh timah pun bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dan
pendidikan itu penting baginya, untuk menegakkan harkat dan martabatnya agar
tidak mengulang pengalaman pahit ayah dan ayah ayahnya.
Tentu
hal ini kontradiktif dengan menteri Perikanan dan Kelautan yang baru saja
terpilih untuk periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang hanya lulusan SMP.
Lihatlah, Andrea, Ibu Susi bisa menjadi Menteri walaupun bukan lulusan sarjana
luar negeri. Lalu, apakah kemudian kita menafikkan latar belakang pendidikan
Andrea Hirata sebagai penyebab keberhasilannya? Setiap orang memiliki jalan
nasib yang berbeda. Memang ada beberapa orang yang putus sekolah, bisa meraih
kesuksesan luar biasa, tapi lebih banyak dari mereka yang terpuruk dalam
kemiskinan.
Di buku
keempat ini, Andrea kembali mengisahkan “kehidupannya” yang berbaur dengan
imajinasi dalam sebuah Novel Biografi. Novel adalah sebuah karya fiksi atau
rekaan. Lalu, bagaimana jika novel itu bercampur dengan biografi penulis atau
tokoh yang diangkat? Maka, beberapa bagian adalah nyata, beberapa sisanya
adalah fiksi. Entah lebih besar mana dominasinya antara yang fiksi dan nyata.
Andrea
telah berhasil menamatkan kuliah S2-nya di Perancis, bidang ekonomi. Suatu
lompatan besar bagi seorang anak buruh PT. Timah yang gajinya tak naik-naik
selama 30 tahun. Orangtuanya sudah tentu bangga, dan berharap Ikal, panggilan
masa keil Andrea dikarenakan rambutnya yang ikal, mendapatkan pekerjaan dengan
jabatan tinggi, melebihi pekerjaan bapaknya. Kenyataannya, Ikal malah tak juga
mendapatkan pekerjaan, sedangkan nasib Arai, sepupunya, yang juga kuliah di
Perancis, jauh lebih baik. Arai belum menyelesaikan kuliahnya karena sakit,
tetapi cintanya yang tiba-tiba mendapatkan sambutan dari Zakiah, cinta
pertamanya sejak SMA, membuat Arai bersemangat meneruskan kuliahnya, bahkan
kemudian menikah dengan Zakiah dan memboyong istrinya ke Perancis.
Kisah
Ikal dan Arai saat tinggal di Bogor kemudian kuliah di UI, sudah saya baca di
bagian kedua: Sang Pemimpi. Saat itu, saya begitu menikmati perjuangan Ikal dan
Arai menyelesaikan S1. Tidak demikian dengan novel ini. Penulis bertindak
sebagai narrator, sehingga sebagian besar cerita didominasi oleh narasi. Dan
meskipun pada judul tertulis: Mimpi-Mimpi Lintang, tetap saja cerita kehidupan
Ikal lebih dominan. Dalam Maryamah Karpov, saya meragukan kebenaran ceritanya.
Agaknya, nyaris 90 persen adalah fiksi, karangan Andrea Hirata. Pertama,
tentang nama Andrea Hirata yang disebutnya sebagai nama asli, pemberian orang tuanya. Pada
kenyataannya, nama itu adalah nama pena sang penulis. Nama asli Andrea Hirata
adalah: Aqil baraq Badruddin Seman Said
Harun (Wikipedia).
“Aku dipanggil si Ikal, lantaran rambutku
ikal. Mereka tak pernah tahu nama asliku, tak mau tahu lebih tepatnya, dan
mereka tak paham bahwa nama asliku tak main-main. Nama itu diambil dari nama
orang Italia, meski orang Italia itu sinting.” (halaman 178).
Yang
dimaksud nama orang Italia adalah “Andrea,” tidak mungkin Aqil. Andrea
bermaksud menjelaskan bahwa nama asli dari orang tuanya adalah Andrea, di luar
mainstream kebanyakan orang Melayu dalam menamakan anak-anaknya. Padahal,
kenyataannya, nama aslinya sama saja dengan nama asli kebanyakan orang Melayu
yang berbau Islam.
Kedua,
perjalanan Andrea kemudian terfokus pada pencarian cinta pertamanya, A Ling,
yang menghilang dan konon pergi ke Pulau Batuan, mencari kehidupan yang lebih
baik bersama orang-orang keturunan Tiongkok lainnya. Kisah ini lebih mendekati
fiksi. Agak sulit diterima akal juga, seorang Andrea hanya terfokus pada cinta
pertamanya, setelah bertahun-tahun melanglang buana. Apakah tak ada wanita lain
yang menempati hatinya? Apalagi kemudian kisah heroik Andrea di lautan, dari
mulai membuat kapal sendiri hingga berlayar ke Batuan, lebih mirip cerita fiksi
fantasi.
Ketiga,
kisah bombastis Andrea yang membuat perahu sendiri, belakangan dibantu oleh
teman-teman masa kecilnya, pasukan Laskar Pelangi, yah walaupun bisa saja
membuat perahu sendiri tapi pengisahan Andrea sungguh-sungguh seperti fiksi.
Terlebih saat Andrea menyelam ke laut demi mencari bangkai perahu kuno dan
mengambil kayu seruknya. Saya sulit membayangkan itu terjadi di dunia nyata.
Yang terlintas justru adegan film fiksi fantasi.
Agak
sulit menyelesaikan membaca novel ini, karena menurut saya ceritanya
bertele-tele dan kurang menghibur. Tidak seperti dalam “Sang Pemimpi” dan
“Edensor” yang bisa membuat saya tertawa-tawa sekaligus tersipu-sipu sekaligus.
Bagian yang menghibur ada pada adegan Ketua Karmun, Kepala Desa teladan, yang
berusaha mencari pasien untuk dokter gigir baru di desa mereka. Tak ada seorang
pun yang mau diperiksa sang dokter gigi hingga nyaris berpindah profesi. Semua
orang masih mengandalkan dukun gigi. Bagian menghibur lainnya, ada pada
penyebutan julukan-julukan yang menjadi kebiasaan orang Melayu.
“Muas yang berkulit gelap digelari Muas
Petang 30. Rustam yang bekerja di koperasi Maskapai Timah dijuluki Rustam
Simpan Pinjam. Munawir mengemban amanah majelis tinggi BKM (Badan Kemakmuran
Masjid) Al Hikmah selaku tukang mengumumkan jika umat meninggal dunia, dijuluki
Munawir Berita Buruk. Mahmuddin yang pelupa dijuluki Mahmuddin Pelupa.” (halaman 178-181).
Gaya
bercerita khas Melayu sangat kental, mengingatkan kita akan sastra-sastra lama
seperti Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan. Hanya saja, proses pembuatan perahu
yang panjang dan bertele-tele amat membosankan.
saya belum satupun membaca buku-buku Andrea Hirata.
BalasHapus