Judul:
HijUPreneur
Penulis:
Diajeng Lestari
Penerbit:
Qultum Media
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2013
Jumlah
Halaman: viii + 100
ISBN:
979-017-248-7
Hijab,
dulu disebut jilbab. Lalu, entah bagaimana (saya tidak mengikuti sejarahnya)
penyebutan itu berubah menjadi Hijab. Para pemakai hijab pun disebut dengan
hijabers. Tak semua orang suka hijabers, walaupun perubahan itu cukup positif
jika dibandingkan saat saya masih remaja dulu, pemakai hijab hanya sedikit.
Bahkan, ketika saya pertama kali memakai hijab di kelas 2 SMA, ada teman yang
mengolok-olok dan menyebut saya “ninja.” Jadi, kemunculan hijabers di masa kini
dengan busana muslimahnya yang fashionable
selayaknya diberikan apresasi positif, terlepas dari masih adanya kekurangan
cara berhijab yang barangkali tidak berkenan di kalangan pemakai hijab “syar’i.”
Setidaknya, para hijabers yang modis itu sudah berproses menutup aurat
dibandingkan dengan yang belum.
Membaca
buku yang ditulis oleh salah satu pelopor hijab fashion, Diajeng Lestari, saya
jadi semakin memahami apa dan mengapa para hijabers mempelopori pemakaian hijab
fashion. Fashion tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, terlebih lagi kaum
wanita. Produk fashion selalu laris manis, termasuk fashion hijab. Kebutuhan
untuk menampilkan performance terbaik di hadapan orang adalah kebutuhan dasar
setiap manusia yang butuh diakui keberadaannya. Hijabers fashion berupaya
menjembatani kebutuhan tersebut agar tetap sesuai syariat. Seingat saya dulu,
salah satu alasan muslimah tak mau berhijab adalah karena hijab itu kampungan,
tidak modis, tidak enak dilihat, dan tidak gaul. Tapi, coba lihat sekarang
dengan kemunculan hijab fashion, remaja-remaja SMP-SMA yang masih suka bergaya
modis pun dengan senang hati mengenakan hijab. Begitu juga dengan ibu-ibu modis
yang pada dasarnya suka berdandan dan bergaya, merasa tetap bisa modis walau
berhijab. Bukankah itu masih lebih baik daripada tidak pakai hijab sama sekali?
![]() |
Diajeng Lestari |
Diajeng
Lestari adalah pendiri e-commerce Islamic fashion pertama dan terbesar di
dunia: HijUP.com, sebuah pasar online yang menampung brand-brand fashion islami
terkemuka di dunia. Di dalam buku ini, penulis menceritakan pengalamannya dalam
mengembangkan HijUP disertai alasan mengapa dia terjun ke bisnis tersebut. Cerita
dibuka dengan pengalamannya pertama kali berhijab di tahun 2001, gara-gara
melihat seorang temannya diejek tukang becak karena rok sekolahnya terbuka
tanpa sengaja. Diajeng merasa perlu menutup auratnya agar tidak menjadi sasaran
godaan lawan jenis.
Selama
menutup aurat, Diajeng tak lepas dari ujian hingga sempat ingin melepas
hijabnya. Untunglah, dia masih konsisten menutup aurat. Sampai kemudian dia
bekerja di sebuah kantor marketing research di Jakarta Timur.
Saat itu, aku baru dua minggu bekerja.
Atasanku memanggilku ke ruangannya.
“Ajeng, kamu kan pakai jilbab ya….”
“Iya, Pak,” jawabku, singkat.
“Kamu ini mau pakai jilbab aliran yang mana?
Yang puritan atau modern? …karena nanti kan kamu harus ketemu banyak klien….”
(halaman 16)
Inovasi dalam Berhijab, Why Not?
Tantangan yang dihadapi muslimah saat ini
adalah bagaimana berhijab, namun tetap bisa beradaptasi dengan lingkungan. Di
satu sisi, keputusan berhijab menuntut kita untuk menutup aurat dengan benar.
Di sisi lain, muslimah saat ini dituntut untuk dapat berpenampilan menarik dan
adaptif terhadap perkembangan zaman. (halaman
18)
Saya
setuju dengan Ajeng. Kita hidup di dunia ini tidak dengan satu jenis orang
saja, tapi dengan bermacam jenis orang. Inovasi dalam berhijab, mengapa tidak?
Toh, Ajeng juga memberikan penjelasan, bahwa walaupun berinovasi tapi tetap mengikuti
aturan syariat, yaitu: menutup dada, tidak membentuk tubuh, dan tidak
transparan. Saya rasa aturan itu cukup jelas. Tak masalah mau bagaimana bentuk
hijabnya, asalkan sudah memenuhi aturan tersebut. Karena esensi hijab adalah
menutup aurat dari rambut hingga mata kaki. Bagaimana bentuk hijabnya, Al Quran
maupun hadist tidak menjelaskannya, apakah harus baju kurung, hijab panjang,
dan sebagainya.
Ajeng
mengajak muslimah berhijab agar tetap
berkarya, karena pada dasarnya semua orang harus terus berkarya dan
bekerja dalam rangka ibadah. Untuk itulah dia mendirikan HijUP.com, e-commerce
Islamic Fashion. Hij (Hijab), Up (percaya diri): muslimah berhijab yang percaya
diri. Maksudnya, muslimah yang percaya diri mengenakan hijab.
Ajeng
kemudian menceritakan pengalamannya jatuh bangun mendirikan HijUP.com yang bisa
dijadikan masukan bagi para pembaca yang berminat membuka usaha serupa.
Indonesia banyak memiliki disainer Islamic fashion kelas dunia, tapi tak
memiliki pasar online yang khusus untuk itu. Sedangkan, di Malaysia sebaliknya.
Mereka sudah lebih dulu digandrungi tren hijaber, tapi sedikit memiliki
disainer busana muslim sehingga banyak mengimport busana dari Indonesia.
Dan,
inilah modal untuk menjadi pengusaha, menurut Diajeng:
Honest
Innovative
Just
Do It
Unique
Pray.
Apa
sajakah itu? Selebihnya bisa dibaca di dalam buku ini. Diajeng juga menampilkan
profil beberapa muslimah berhijab yang sukses berbisnis, dua diantaranya adalah
GhaidaTsurayya (putri Aa Gym) dan Ninit Yunita (penulis, blogger, dan pendiri
web The Urban Mama).
Membaca
buku ini, dijamin jadi makin termotivasi untuk berkarya. Hijab… UP!
walah ada sebutan puritan dan modern segala -_-
BalasHapusGahida Tsurayya itu desainer busana muslimah juga kan, ya. Pernah nonton pas tampil di acara Hitam Putih.
eh, salah tulis nama hihi.. Ghaida maksud saya.
BalasHapusbtw, motto:
Honest
Innovative
Just Do It
Unique
Pray
ini keren. setuju banget :)
setuju sm inovasinya.. asal tetap pada koridor syar'i..
BalasHapusKeren kata HijUp itu, jadi brand tersendiri akhirnya ya, hehee
BalasHapusinspiratif ya sosok diajeng ini, dan juga prestasinya :)
BalasHapus