Selasa, 25 November 2014

Menjadi Djo, Sebuah Novel Inspiratif tentang Menjadi Indonesia


Judul: Menjadi Djo
Penulis: Dyah Rinni
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2014
Jumlah Halaman: 290
ISBN: 978-602-03-04447-2

Rupanya rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat yang dilakukan oleh Penjajah Belanda di Indonesia pada masa kolonial, hingga kini masih terasa dampaknya. Kala itu, penduduk Indonesia dipisah berdasarkan rasnya. Ras kelas pertama diduduki oleh kaum Europanean (orang Eropa, kulit putih), ras kelas kedua diduduki oleh kaum Vreemde Osterlingen (Timur Asing) yang meliputi Tionghoa, Arab, India, maupun non-Eropa lain, dan ras kelas ketiga diduduki oleh kaum Inlander (Pribumi), yaitu penduduk asli Indonesia.


Setelah kemerdekaan, kaum Europanean berkurang jumlahnya karena banyak yang kembali ke negara asal. Kini mereka sebagian besar kita sebut “turis.” Sedangkan kaum Inlander (Pribumi) menempati kelas teratas, sebagai penduduk asli Indonesia. Kaum Vreemde Osterlingen mengalami perbedaan nasib, ada yang melebur dan diterima dengan mudah, seperti orang-orang Arab. Ada juga yang masih mengalami diskriminasi karena anggapan penguasaan ekonomi dan tidak benar-benar mencintai Indonesia, sehingga keberadaannya rentan kekerasaan sebagaimana yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Mereka adalah orang-orang Tionghoa, atau orang-orang yang memiliki darah dan keturunan Tionghoa.

Menjadi Djo adalah curahan hati seorang pemuda keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia. Dia bahkan telah menjadi seorang Direktur Perusahaan Pengiriman Terbesar di Indonesia, Tiki Jalur Nugraha Ekakurir, Tiki JNE. Di tahun 1960-an, Djo kala itu masih dipanggil A Guan, tinggal bersama orang tua dan kakak-kakaknya di Medan. Masa kecilnya sungguh bahagia, berteman dan bermain dengan anak pembantunya yang bernama Yanto, orang Jawa asli. A Guan sering diolok-olok teman-temannya karena bermain dengan orang pribumi. Lingkungannya memang terkondisikan hanya bergaul dengan orang-orang keturunan Tionghoa. Akan tetapi, A Guan justru lebih senang bermain dengan Yanto, sahabatnya yang setia.

Usai tragedi pemberontakan PKI di tahun 1965, orang-orang keturunan Tionghoa terkena getahnya. Ada isu bahwa orang-orang Tionghoa bekerjasama dengan PKI untuk mengacaukan Indonesia. Kekerasan terhadap orang-orang keturunan Tionghoa pun membuat orang tua A Guan ketakutan sehingga mereka memutuskan pindah ke Jakarta. A Guan terpaksa meninggalkan Yanto. Di Jakarta, semua anggota keluarga A Guan mengganti nama menjadi nama Indonesia agar diakui sebagai orang Indonesia. A Guan mengganti namanya menjadi Djohan. Rupanya kejadian itu yang menjadi penyebab mengapa orang-orang keturunan Tionghoa di sekitar kita memakai nama Indonesia atau Barat dan bukan nama Tionghoa. Apalah arti sebuah nama? Begitu kata Shakespeare. Agak aneh jika orang-orang Tionghoa tidak boleh memakai nama Tionghoa. Bukankah orang Indonesia pun banyak yang memakai nama-nama Arab?

Menjalani masa remaja di Jakarta, Djohan melihat pergaulan remaja Jakarta lebih toleran dan tidak terkotak-kotak. Jiwa bisnisnya juga mulai muncul, dengan membuat majalah remaja yang langsung digemari remaja-remaja putri seusianya. Djohan juga sudah mulai jatuh cinta kepada seorang remaja putri bernama Rinai, yang kulitnya hitam manis, tak seperti gadis keturunan Tionghoa lainnya. Akan tetapi, menjelang usia dewasa, ibunya justru menjodohkannya dengan gadis Tionghoa lain yang masih kerabatnya. Djohan menolak karena ingin menikah dengan gadis pribumi agar status Indonesianya semakin diakui.

Semangat dan kegigihannya berbisnis bisa dijadikan cerminan bagi kita. Janganlah iri kepada warga keturunan Tionghoa bila mereka sukses berbisnis, karena mereka memang memiliki jiwa bisnis yang kuat sebagaimana Djohan. Contohnya ketika Djohan berniat memberikan Majalah Samantha gratis dalam rangka promosi. Teman-temannya menentang, tapi kata Djohan:

“Promosi itu penting, By. Biar orang tertarik dan mau mengenal produk kita. Lo nggak bisa mengharapkan mereka langsung beli. Mereka kudu kenal kita dulu, sayang dulu, baru mau beli. Bukankah pelanggan kita bertambah banyak karena mereka lebih dulu mengenal kita baru kemudian kenal Samantha?” (halaman 143)

Kini, sudah bukan zamannya lagi mengotak-ngotakkan orang berdasarkan ras. Mari kita tinggalkan rezim segregrasi warisan Belanda yang mengotak-ngotakkan Indonesia sesuai rasnya. Agar tidak ada diskriminasi sosial, kedua etnis harus membaur dan saling mengenal. Di kalangan orang keturunan Tionghoa sendiri, ada juga yang masih menganggap posisinya lebih tinggi daripada pribumi, sehingga memandang rendah pribumi. Mereka tidak mau menikah dengan gadis pribumi.

Saya teringat tetangga saya, seorang wanita Indonesia keturunan Tionghoa, bersuamikan orang Jawa berkulit hitam manis. Kehadiran mereka diterima dengan baik di masyarakat,  karena wanita itu dapat berbaur dan bermasyarakat dengan baik. Tidak menganggap dirinya lebih tinggi daripada pribumi. Bukan berarti bahwa warga keturunan Tionghoa harus menikah dengan pribumi. Bebas saja, namanya juga jodoh. Yang terpenting adalah proses pembauran di kedua etnis dan tidak menciptakan sekat-sekat yang dapat memicu konflik.

“Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku, negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara, Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini, dan kelak akan mati di sini. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini, sementara semua yang aku cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?” (halaman 263)

Namun, novel ini di luar prediksi saya karena tidak sedikit pun menyinggung tentang JNE, berhubung di bagian identitas buku tertulis “JNE Inspirasi” dan disebutkan bahwa novel ini terinspirasi kisah nyata seorang direktur perusahaan pengiriman terbesar di Indonesia (JNE), jadi saya sempat berpikir kisahnya akan menyinggung latar belakang kesuksesan JNE. Apa pun, kisah ini cukup memberikan pengetahuan kepada kita agar mendobrak dinding pemisah yang memisahkan kita berdasarkan ras, suku, dan agama. Sebab, kita semua satu, satu Indonesia.

6 komentar:

  1. Iya ini sebatas kisah masa muda tokohnya aja, gak sampe merintis jne

    BalasHapus
  2. mungkin JNE jadi sponsor aja, Mbak.. hehe..

    BalasHapus
  3. Tentang JNE ada di buku berikutnya, mbak. Ceritanya panjang jadi lebih baik bukunya dipecah dua daripada terlalu tebal atau kurang maksimal ceritanya. :)

    BalasHapus
  4. Oohh.. ini dari kisah nyata ya, Mbak. Wah, baru tahu kisah pendiri JNE hehe...

    Jadi mirip-mirip biografi ya..

    BalasHapus
  5. Iya, aku sempat terpikir yang kayak mb Linda bilang. Mungkin JNE jadi sponsor buku ini diterbitkan? heheee

    BalasHapus
  6. Membaca satu buku dari resensi dua orang yang sama kerennya.
    Iya pertanyaanku ttp sama...kok JNEnya nggk disinggung dikit ya..
    Sukaaaa...makasih Kak Leyla Hana.

    BalasHapus