Judul:
Menjadi Djo
Penulis:
Dyah Rinni
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2014
Jumlah
Halaman: 290
ISBN:
978-602-03-04447-2
Rupanya
rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat yang dilakukan oleh Penjajah
Belanda di Indonesia pada masa kolonial, hingga kini masih terasa dampaknya.
Kala itu, penduduk Indonesia dipisah berdasarkan rasnya. Ras kelas pertama
diduduki oleh kaum Europanean (orang
Eropa, kulit putih), ras kelas kedua diduduki oleh kaum Vreemde Osterlingen (Timur Asing) yang meliputi Tionghoa, Arab,
India, maupun non-Eropa lain, dan ras kelas ketiga diduduki oleh kaum Inlander (Pribumi), yaitu penduduk asli
Indonesia.
Setelah
kemerdekaan, kaum Europanean
berkurang jumlahnya karena banyak yang kembali ke negara asal. Kini mereka
sebagian besar kita sebut “turis.” Sedangkan kaum Inlander (Pribumi) menempati kelas teratas, sebagai penduduk asli
Indonesia. Kaum Vreemde Osterlingen
mengalami perbedaan nasib, ada yang melebur dan diterima dengan mudah, seperti
orang-orang Arab. Ada juga yang masih mengalami diskriminasi karena anggapan
penguasaan ekonomi dan tidak benar-benar mencintai Indonesia, sehingga
keberadaannya rentan kekerasaan sebagaimana yang terjadi pada kerusuhan Mei
1998. Mereka adalah orang-orang Tionghoa, atau orang-orang yang memiliki darah
dan keturunan Tionghoa.
Menjadi
Djo adalah curahan hati seorang pemuda keturunan Tionghoa yang lahir dan besar
di Indonesia. Dia bahkan telah menjadi seorang Direktur Perusahaan Pengiriman
Terbesar di Indonesia, Tiki Jalur Nugraha Ekakurir, Tiki JNE. Di tahun 1960-an,
Djo kala itu masih dipanggil A Guan, tinggal bersama orang tua dan
kakak-kakaknya di Medan. Masa kecilnya sungguh bahagia, berteman dan bermain
dengan anak pembantunya yang bernama Yanto, orang Jawa asli. A Guan sering
diolok-olok teman-temannya karena bermain dengan orang pribumi. Lingkungannya
memang terkondisikan hanya bergaul dengan orang-orang keturunan Tionghoa. Akan
tetapi, A Guan justru lebih senang bermain dengan Yanto, sahabatnya yang setia.
Usai tragedi
pemberontakan PKI di tahun 1965, orang-orang keturunan Tionghoa terkena
getahnya. Ada isu bahwa orang-orang Tionghoa bekerjasama dengan PKI untuk mengacaukan
Indonesia. Kekerasan terhadap orang-orang keturunan Tionghoa pun membuat orang
tua A Guan ketakutan sehingga mereka memutuskan pindah ke Jakarta. A Guan
terpaksa meninggalkan Yanto. Di Jakarta, semua anggota keluarga A Guan
mengganti nama menjadi nama Indonesia agar diakui sebagai orang Indonesia. A
Guan mengganti namanya menjadi Djohan. Rupanya kejadian itu yang menjadi
penyebab mengapa orang-orang keturunan Tionghoa di sekitar kita memakai nama
Indonesia atau Barat dan bukan nama Tionghoa. Apalah arti sebuah nama? Begitu
kata Shakespeare. Agak aneh jika orang-orang Tionghoa tidak boleh memakai nama
Tionghoa. Bukankah orang Indonesia pun banyak yang memakai nama-nama Arab?
Menjalani
masa remaja di Jakarta, Djohan melihat pergaulan remaja Jakarta lebih toleran
dan tidak terkotak-kotak. Jiwa bisnisnya juga mulai muncul, dengan membuat majalah
remaja yang langsung digemari remaja-remaja putri seusianya. Djohan juga sudah
mulai jatuh cinta kepada seorang remaja putri bernama Rinai, yang kulitnya
hitam manis, tak seperti gadis keturunan Tionghoa lainnya. Akan tetapi,
menjelang usia dewasa, ibunya justru menjodohkannya dengan gadis Tionghoa lain
yang masih kerabatnya. Djohan menolak karena ingin menikah dengan gadis pribumi
agar status Indonesianya semakin diakui.
Semangat
dan kegigihannya berbisnis bisa dijadikan cerminan bagi kita. Janganlah iri
kepada warga keturunan Tionghoa bila mereka sukses berbisnis, karena mereka
memang memiliki jiwa bisnis yang kuat sebagaimana Djohan. Contohnya ketika
Djohan berniat memberikan Majalah Samantha gratis dalam rangka promosi.
Teman-temannya menentang, tapi kata Djohan:
“Promosi itu penting, By. Biar orang
tertarik dan mau mengenal produk kita. Lo nggak bisa mengharapkan mereka langsung
beli. Mereka kudu kenal kita dulu, sayang dulu, baru mau beli. Bukankah
pelanggan kita bertambah banyak karena mereka lebih dulu mengenal kita baru
kemudian kenal Samantha?” (halaman
143)
Kini,
sudah bukan zamannya lagi mengotak-ngotakkan orang berdasarkan ras. Mari kita
tinggalkan rezim segregrasi warisan Belanda yang mengotak-ngotakkan Indonesia
sesuai rasnya. Agar tidak ada diskriminasi sosial, kedua etnis harus membaur
dan saling mengenal. Di kalangan orang keturunan Tionghoa sendiri, ada juga
yang masih menganggap posisinya lebih tinggi daripada pribumi, sehingga
memandang rendah pribumi. Mereka tidak mau menikah dengan gadis pribumi.
Saya
teringat tetangga saya, seorang wanita Indonesia keturunan Tionghoa,
bersuamikan orang Jawa berkulit hitam manis. Kehadiran mereka diterima dengan
baik di masyarakat, karena wanita itu
dapat berbaur dan bermasyarakat dengan baik. Tidak menganggap dirinya lebih
tinggi daripada pribumi. Bukan berarti bahwa warga keturunan Tionghoa harus
menikah dengan pribumi. Bebas saja, namanya juga jodoh. Yang terpenting adalah
proses pembauran di kedua etnis dan tidak menciptakan sekat-sekat yang dapat
memicu konflik.
“Aku tidak pernah mengenal China. Bagiku,
negara itu terlalu jauh dan tidak pernah menyumbangkan apa pun kecuali dongeng
masa lampau keluargaku. Sepanjang hidupku, aku hanya mengenal satu negara,
Indonesia. Aku lahir di sini, makan di sini, dan kelak akan mati di sini.
Bagaimana mungkin aku tidak memikirkan negeri ini, sementara semua yang aku
cintai dan perjuangkan ada di negeri ini?” (halaman 263)
Namun, novel ini di luar prediksi saya karena tidak sedikit pun menyinggung tentang
JNE, berhubung di bagian identitas buku tertulis “JNE Inspirasi” dan disebutkan
bahwa novel ini terinspirasi kisah nyata seorang direktur perusahaan pengiriman
terbesar di Indonesia (JNE), jadi saya sempat berpikir kisahnya akan
menyinggung latar belakang kesuksesan JNE. Apa pun, kisah ini cukup memberikan pengetahuan kepada kita
agar mendobrak dinding pemisah yang memisahkan kita berdasarkan ras, suku, dan
agama. Sebab, kita semua satu, satu Indonesia.
Iya ini sebatas kisah masa muda tokohnya aja, gak sampe merintis jne
BalasHapusmungkin JNE jadi sponsor aja, Mbak.. hehe..
BalasHapusTentang JNE ada di buku berikutnya, mbak. Ceritanya panjang jadi lebih baik bukunya dipecah dua daripada terlalu tebal atau kurang maksimal ceritanya. :)
BalasHapusOohh.. ini dari kisah nyata ya, Mbak. Wah, baru tahu kisah pendiri JNE hehe...
BalasHapusJadi mirip-mirip biografi ya..
Iya, aku sempat terpikir yang kayak mb Linda bilang. Mungkin JNE jadi sponsor buku ini diterbitkan? heheee
BalasHapusMembaca satu buku dari resensi dua orang yang sama kerennya.
BalasHapusIya pertanyaanku ttp sama...kok JNEnya nggk disinggung dikit ya..
Sukaaaa...makasih Kak Leyla Hana.