Ibarat sebuah tubuh, bagaimanakah
bila ada satu bagian tubuh yang terlepas? Tentu rasanya sakit. Seperti itulah
rasanya saat Timor-Timur melepaskan diri dari Indonesia setelah referendum
tahun 1999. Terbayang perjuangan menyatukan Tim-tim ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang memakan nyawa ratusan ribu rakyat Timor-Timur dan para
Tentara Republik Indonesia yang gugur. Tentu ada perbedaan pandangan mengenai
penyatuan Timor-Timur ke dalam NKRI. Kelompok Pro Integrasi menganggap TRI
sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari penjajahan Fretilin (pro
komunis). Bila membaca sejarah yang tercatat, tahun 1975, Timor-Timur
ditinggalkan oleh Pemerintah Portugis yang sebelumnya berkuasa, dan dibiarkan
tanpa pemerintahan. Sementara itu, kelompok radikal Fretilin, terus menebar
terror, membunuh rakyat Tim-Tim yang tidak pro kepada mereka. Sehingga kelompok
pro integrasi meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk melawan Fretilin. Kemenangan
berada di pihak TRI dan Tim-Tim pun menjadi bagian dari NKRI pada tahun 1976
sebagai provinsi ke-27.
Namun, di pihak Fretilin,
Indonesia adalah penjajah. Sebuah sebutan yang sangat menakutkan, sementara
rakyat Indonesia sendiri juga pernah merasakan dijajah ratusan tahun oleh
Belanda. Kedatangan TRI ke Tim-Tim adalah untuk merebut paksa wilayah Tim-Tim,
dan selama masa pemerintahannya, TRI banyak menyiksa rakyat Tim-Tim yang Pro
Fretilin. Dipenjara, disiksa, dan dibunuh. Apakah rakyat Indonesia di luar
Tim-Tim mengetahui hal ini? Pada masa pemerintahan orde baru di mana pers tidak
sebebas sekarang, informasi disembunyikan demikian rapat. Bahkan mungkin
kelompok hak asasi manusia tak mampu berbuat apa-apa, karena pemerintah
Indonesia begitu menekan. Siapa bersuara, akan mati atau hilang tak tentu
rimbanya. Terbukti, ketika Presiden Habibie menawarkan referendum, kelompok
Fretilin menang mutlak sehingga Timor-Timur terlepas dari NKRI. Mayoritas
penduduk Timor-Timur yang menghendaki referendum, mengatakan bahwa kemenangan
itu berarti kemerdekaan Timor-Timur. Tahun 2002, Timor-Timur resmi dinyatakan
sebagai negara merdeka dan mengganti nama menjadi Timor Leste.
Terlepas dari intrik politik yang
melatarbelakangi terlepasnya Timor-Timur dari NKRI, pernahkah terbayang kesedihan
di antara rakyat Tim-Tim yang Pro Integrasi dan Pro Fretilin? Rakyat Tim-Tim
yang Pro Integrasi, terpaksa harus meninggalkan Timor Leste, mengungsi ke Timur
Barat yang masih dimiliki oleh NKRI. Barangkali, dan ini pasti, mereka harus
meninggalkan anggota keluarga, saudara, tetangga, orang-orang tercinta yang
memilih untuk menetap di Timor Leste. Bayangkan saja, meninggalkan tanah yang
sudah ditempati sejak nenek moyang, rumah, kebun, harta benda, demi rasa setia
terhadap NKRI. Namun, setibanya di Indonesia, tak ada perlakuan istimewa yang
mereka terima. Mereka harus berjuang dari awal untuk menyokong hidup mereka
sendiri. Satu per satu dari mereka menyerah pada keadaan, kembali ke pelukan keluarga tercinta, mengingkari NKRI
demi bisa memijakkan kaki kembali di Timor Leste.
Shabrina WS, begitu cerdasnya
mengambil momen menyedihkan ini sebagai setting novelnya yang terbaru “Always
Be in Your Heart.” Sebuah novel dengan aroma percintaan, genre yang sedang tren
di ranah perbukuan kita saat ini. Ah, tema cinta tak pernah usang dituliskan. Klise, tapi menjadi tak biasa manakala penulis
novel romance mampu membidik latar cerita yang tak biasa. Proses jatuh cinta
antara seorang lelaki dan wanita, barangkali memiliki kemiripan di antara satu
kisah dengan kisah yang lain. Jatuh cinta dengan tetangga, teman sekolah, musuh
bebuyutan, tak terhitung penulis yang mengisahkan hal yang nyaris sama,
berulang-ulang? Bosankah kita? Tentu tidak, bila penulis piawai menyajikan tema
yang klise ini. Simaklah bait-bait puisi yang membuka novel setebal 236 halaman
ini:
Kita punya cinta yang sama,
Tetapi memilih jalan yang berbeda.
Aku selalu menunggumu dari matahari di timur
hingga matahari di barat.
Aku telah melewati musim yang berganti berulang kali
Namun, kau tak pernah hadir di sini.
Kini, ketika aku ingin pulang ke
hatimu,
Masihkah pintunya terbuka untukku?
Marsela dan Juanito, sepasang
anak manusia yang melewati masa kecil mereka dengan indah di Timor Leste,
bersama aroma kopi Emera. Pelan-pelan timbul ketergantungan di antara keduanya,
yang tak terucap kata, tetapi bermakna. Sebuah cinta biasa yang mudah terjadi
pada lelaki dan wanita berlainan jenis, bila kerap bersama. Shabrina WS seakan
menguasai betul latar Timor Leste, lengkap dengan beberapa kata dalam bahasa
Timor Leste. Tak membuat pembaca mengerutkan kening, karena Shabrina tahu mana
kata yang boleh disebutkan dalam bahasa Timor Leste dan porsinya, sehingga
tanpa melihat kamus pun, pembaca sudah bisa menebak-nebak apa artinya.
Gaya menulis Shabrina yang
lembut, puitis, romantis, tetapi mudah dicerna, membuat kita terbawa pada
romansa percintaan Marsela dan Juanito yang sopan tanpa berlama-lama membuka
halaman tiap lembarnya. Tak ada aroma vulgar sama sekali, justru kental dengan
tata krama. Bagaimana Apa (ayah
Marsela), mengajarkan putri semata wayangnya untuk menjaga jarak dengan
Juanito, setelah putrinya menjadi gadis remaja.
“Sela sudah menjadi gadis
sekarang, Tia…” ucap Marsela, lirih. Tia Tika mendengar sambil memiringkan
kepalanya. “Apa tidak mengizinkanku berdekatan dan bersentuhan dengan lawan
jenis atau orang asing.” (halaman 39)
Hingga waktu berlalu dan Juanito
melanjutkan kuliah di Dili sambil tetap menyimpan cintanya kepada Marsela.
Selepas Marsela lulus SMA, Juanito melamar Marsela tanpa basa-basi. Nilai moral
yang jarang ada pada remaja sekarang.
“Kamu mau, kan kita menikah?”
Sekali lagi, Juanito bertanya. Marsela sungguh tak siap. Dia bahkan tidak
pernah membayangkan kalau tiba-tiba akan dilamar seperti itu. (halaman 63)
Namun, referendum mengubah
segala. Ayah Marsela memilih untuk setia pada NKRI dan mengungsi ke Timor
Barat, sedangkan keluarga Juanito memilih bertahan di rumah mereka di Timor
Leste, yang berarti pro pada Fretilin. Marsela dan Juanito, yang sudah menyusun
rencana pernikahan, terpaksa harus berpisah tanpa ada kepastian akan bertemu. Hingga
ayah Marsela meninggal dunia dan Marsela bertahan seorang diri, tinggal di
pengungsian, sambil menatap Timor Leste di kejauhan dan berharap bisa bertemu
kembali dengan Juanito.
Mengapakah Juanito tak mencari
tahu kabarnya?
Apakah Juanito telah menikah?
Bagaimana dengan Randu? Lelaki
Padang yang menaruh hati kepada Marsela?
Siapa yang akan menjadi muara
cinta Marsela?
Dan apakah dia akan tetap setia
pada NKRI seperti ayahnya, atau mengikuti jejak rekan-rekannya di pengungsian
yang memutuskan untuk kembali ke Timor Leste?
Nikmatilah novel ini sambil
membayangkan harumnya aroma kopi Emera. Terbanglah bersama Shabrina WS ke tahun
1999, saat referendum terjadi. Posisikan diri Anda sebagai bagian dari warga
Timor Leste yang terpaksa berpisah dengan sanak saudaranya, bahkan kekasihnya,
demi sebuah kata: setia.
Terima kasih Mbaaak...sudah membaca dan membuat catatannya.
BalasHapusBtw, aku juga membayangkan kopi Ermera :D
Hai,mbak...rasanya kok kepengin baca novelnya. Can I get in free :D hihihi. Just kidding mbak :)
BalasHapuscovernya cantik :D
BalasHapusvisit my blog ^_^
www.LuchLuchCraft.com
My online store ^_^
www.TokoLuchLuchCraft.biz