Akhirnya saya berhasil juga
menamatkan buku ini, setelah dikirimi inbox oleh penulisnya, hehe…. Ya,
belakangan ini, tepatnya setelah si baby lahir, saya jadi sulit meluangkan
waktu untuk membaca buku. Padahal, sebelum buku ini sampai ke tangan saya, gratis
dari penulisnya, saya sudah punya beberapa novel yang mengantri dibaca. Dan
sebenarnya, saya punya waktu untuk membaca buku, misalnya saat sedang menyusui.
Tapiiii…. Gara-gara menang lomba blog berhadiah pulsa 300 ribu (dua lomba blog,
masing-masing dapat pulsa 150 ribu), ponsel pintar saya yang biasanya
tergeletak tak berdaya, kini jadi tak bisa lepas dari tangan. Kegiatan saya
saat luang, ya browsing, fb, twitter. Apalagi setelah kena virus para quiz
hunter, saya ikut-ikutan jawabin kuis di twitter. Iseng-iseng berhadiah. Ada
yang menang, lebih banyak yang gagal. Pengalaman hadiah terbesar dapat 2,5 juta
dari jawab kuis. Ups… ntar pada ikutan juga, lagi! Mending jawab kuis ya
daripada nulis buku, hihihi…..
Baiklah. Setelah saya paksakan
menyingkirkan dulu hape saya itu, novel ini pun berhasil selesai dibaca. Di
halaman awal, sejujurnya saya merasa sulit mencerna ceritanya, karena memang
cukup berbobot. Tentang terorisme yang disebarkan melalui virus H1N1 atau flu
babi. Agak terkejut kalau mengingat latar belakang penulisnya yang mantan Buruh
Migran di Hongkong. Maaf, kalau di Indonesia, pekerjaannya sama dengan Pembantu
Rumah Tangga. Ini nih yang terlintas di benak saya, “Wah, Mell Shaliha cerdas
juga yak, bisa nulis kayak gini.” Nah, masalahnya, saya baru membaca buku kalau
mau tidur. Sambil menyusui dan mengeloni anak-anak, saya baca buku itu. Saat
itu, keadaan saya sudah low bat. Badan udah pegal-pegal, pikiran udah sumpek.
Jadi, begitu dihadapkan pada cerita yang lumayan “berat,” bawaannya ngantuk.
Sungguh, ini bukan kesalahan
penulisnya. Buku ini cukup berbobot. Sebuah pencapaian besar dari seorang Mell
Shaliha. Bayangkan, dia sudah menulis tema yang berat di novel keduanya,
sedangkan saya masih menulis yang ringan-ringan saja sampai novel ke-13. Jadi,
semurninya ini kesalahan saya yang memang sudah low bat, jadi kesulitan
mencerna ceritanya dengan cepat. Mulanya saya kesulitan membedakan antara Damar
dan Dimas, karena pekerjaan keduanya yang rada mirip: wartawan. Tapi, lama-lama
bisa juga dibedakan setelah cerita lebih banyak berkisah pada Dimas, yang
terjebak pada organisasi teroris.
Saya percaya, semua penulis novel
pasti memasukkan sebagian dirinya ke dalam tulisannya, entah itu sifat tokoh,
latar belakang, pekerjaan, dan lain-lain. Pernah ada seorang penulis novel yang
tidak mau dituduh memasukkan sebagian pengalaman hidupnya ke dalam ceritanya,
tapi saya yakin itu bohong. Kalau penulis novel tidak memasukkan sebagian kisah
hidupnya, dijamin kisahnya garing dan kering, karena penulis tidak menjiwai ceritanya.
Begitu juga Mell Shaliha. Akhirnya, saya temukan juga tokoh yang saya yakin
adalah si Mell itu juga, sebagaimana dalam novelnya yang pertama; Hongkong, Xie
Xie Ni De Ai.
Oke, deh. Di awal cerita, saya
sempat bertanya-tanya, mana nih tokoh perempuannya. Masa sih gak ada? Karena
cerita terus berputar antara Dimas dan Damar. Rasanya garing ya kalau tidak ada
romantis-romantisnya. Hingga sampailah cerita pertemuan Dimas dengan dua gadis,
Faye dan Kana, gadis Korea dan Rusia. Saya sudah mengira, sepertinya salah satu
dari gadis ini akan menjalin cinta dengan Dimas. Dugaan saya hampir benar
hingga datanglah Erni, inilah tokoh yang merupakan penjelmaan penulisnya.
Sebagaimana Alena di novel Xie Xie Ni De Ai, Erni ini berprofesi sebagai Buruh
Migran di Hongkong. Entah bagaimana novel ketiga Mell nanti, apakah masih
memasukkan tokoh Buruh Migran? Saya pun berubah pikiran. Sepertinya hubungan
romantis itu akan terjalin antara Dimas dan Erni. Apalagi setelah mereka sering chatting di
facebook, wah semakin yakinlah saya bahwa keduanya akan menjalin cinta.
Namun, sebagaimana novel
spionase, novel ini memberikan kejutan-kejutan kepada pembaca, yang tak sesuai
dengan dugaan semula. Meskipun, menurut saya, pemotongan adegan tiap babnya
kurang cantik, sehingga kurang memancing saya untuk meneruskan membaca. Juga di bagian ending, rasanya terlalu mudah.
Tapi, patutlah diacungi jempol kepada penulisnya, yang sukses menulis novel
spionase dengan topik berat sebagai debut kedua. Tidak mudah menulis novel semacam ini. Terlebih
settingnya berganti-ganti antara Gunung Kidul Yogyakarta, Korea, dan Hongkong.
Mell sanggup melukiskan setting Korea dengan detil, meskipun tak pernah ke
Korea. Kalau Hongkong, saya yakin Mell sudah merekamnya di dalam kepala karena
pernah beberapa tahun tinggal di Hongkong. Seperti di novel pertama, ada
beberapa dialog yang menggunakan bahasa Korea dan Hongkong.
Ada satu kesalahan bahasa yang
banyak terjadi di novel ini, yaitu penggunaan kata “secara.” Salah satunya di
halaman 188.
“Waktu tak berpihak padanya,
sungguh tak biasa Damar mematikan HP-nya, secara ia seorang wartawan yang
selalu berhubungan dengan publik.”
Penggunaan kata “secara” itu
tidak tepat. Sayangnya, penulis beberapa kali mengulanginya. Penggunaan kata
“secara” yang tidak tepat itu, belakangan ini memang sering digunakan dalam
percakapan sehari-hari, tapi sesungguhnya tidak benar dalam kaidah penulisan. “Secara,”
artinya “dengan cara.” Jika dimasukkan ke dalam kalimat di atas, jadi
bagaimana?
Beberapa kali juga dituliskan kata
“Kalian” dengan huruf kapital di awal. Padahal, kata “Kalian” itu ada di
tengah-tengah kalimat. Jika kata “Kalian” menggunakan huruf kapital, berarti
kata “aku, saya, kamu, mereka” juga menggunakan huruf kapital di awal, ya?
Kemungkinan ini kesalahan pada editing.
Sekian cuap-cuap saya. Nikmatnya
menjadi pembaca adalah mudah mengomentari apa yang dibacanya, tapi belum tentu
bisa menulis yang lebih hebat daripada yang dibacanya, hehehe… Semoga sukses
buat Mell Shaliha J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar