Senin, 04 Maret 2013

Crying Winter: Dilema Seorang Teroris


Akhirnya saya berhasil juga menamatkan buku ini, setelah dikirimi inbox oleh penulisnya, hehe…. Ya, belakangan ini, tepatnya setelah si baby lahir, saya jadi sulit meluangkan waktu untuk membaca buku. Padahal, sebelum buku ini sampai ke tangan saya, gratis dari penulisnya, saya sudah punya beberapa novel yang mengantri dibaca. Dan sebenarnya, saya punya waktu untuk membaca buku, misalnya saat sedang menyusui. Tapiiii…. Gara-gara menang lomba blog berhadiah pulsa 300 ribu (dua lomba blog, masing-masing dapat pulsa 150 ribu), ponsel pintar saya yang biasanya tergeletak tak berdaya, kini jadi tak bisa lepas dari tangan. Kegiatan saya saat luang, ya browsing, fb, twitter. Apalagi setelah kena virus para quiz hunter, saya ikut-ikutan jawabin kuis di twitter. Iseng-iseng berhadiah. Ada yang menang, lebih banyak yang gagal. Pengalaman hadiah terbesar dapat 2,5 juta dari jawab kuis. Ups… ntar pada ikutan juga, lagi! Mending jawab kuis ya daripada nulis buku, hihihi…..


Baiklah. Setelah saya paksakan menyingkirkan dulu hape saya itu, novel ini pun berhasil selesai dibaca. Di halaman awal, sejujurnya saya merasa sulit mencerna ceritanya, karena memang cukup berbobot. Tentang terorisme yang disebarkan melalui virus H1N1 atau flu babi. Agak terkejut kalau mengingat latar belakang penulisnya yang mantan Buruh Migran di Hongkong. Maaf, kalau di Indonesia, pekerjaannya sama dengan Pembantu Rumah Tangga. Ini nih yang terlintas di benak saya, “Wah, Mell Shaliha cerdas juga yak, bisa nulis kayak gini.” Nah, masalahnya, saya baru membaca buku kalau mau tidur. Sambil menyusui dan mengeloni anak-anak, saya baca buku itu. Saat itu, keadaan saya sudah low bat. Badan udah pegal-pegal, pikiran udah sumpek. Jadi, begitu dihadapkan pada cerita yang lumayan “berat,” bawaannya ngantuk.

Sungguh, ini bukan kesalahan penulisnya. Buku ini cukup berbobot. Sebuah pencapaian besar dari seorang Mell Shaliha. Bayangkan, dia sudah menulis tema yang berat di novel keduanya, sedangkan saya masih menulis yang ringan-ringan saja sampai novel ke-13. Jadi, semurninya ini kesalahan saya yang memang sudah low bat, jadi kesulitan mencerna ceritanya dengan cepat. Mulanya saya kesulitan membedakan antara Damar dan Dimas, karena pekerjaan keduanya yang rada mirip: wartawan. Tapi, lama-lama bisa juga dibedakan setelah cerita lebih banyak berkisah pada Dimas, yang terjebak pada organisasi teroris.

Saya percaya, semua penulis novel pasti memasukkan sebagian dirinya ke dalam tulisannya, entah itu sifat tokoh, latar belakang, pekerjaan, dan lain-lain. Pernah ada seorang penulis novel yang tidak mau dituduh memasukkan sebagian pengalaman hidupnya ke dalam ceritanya, tapi saya yakin itu bohong. Kalau penulis novel tidak memasukkan sebagian kisah hidupnya, dijamin kisahnya garing dan kering, karena penulis tidak menjiwai ceritanya. Begitu juga Mell Shaliha. Akhirnya, saya temukan juga tokoh yang saya yakin adalah si Mell itu juga, sebagaimana dalam novelnya yang pertama; Hongkong, Xie Xie Ni De Ai.

Oke, deh. Di awal cerita, saya sempat bertanya-tanya, mana nih tokoh perempuannya. Masa sih gak ada? Karena cerita terus berputar antara Dimas dan Damar. Rasanya garing ya kalau tidak ada romantis-romantisnya. Hingga sampailah cerita pertemuan Dimas dengan dua gadis, Faye dan Kana, gadis Korea dan Rusia. Saya sudah mengira, sepertinya salah satu dari gadis ini akan menjalin cinta dengan Dimas. Dugaan saya hampir benar hingga datanglah Erni, inilah tokoh yang merupakan penjelmaan penulisnya. Sebagaimana Alena di novel Xie Xie Ni De Ai, Erni ini berprofesi sebagai Buruh Migran di Hongkong. Entah bagaimana novel ketiga Mell nanti, apakah masih memasukkan tokoh Buruh Migran? Saya pun berubah pikiran. Sepertinya hubungan romantis itu akan terjalin antara Dimas dan Erni.  Apalagi setelah mereka sering chatting di facebook, wah semakin yakinlah saya bahwa keduanya akan menjalin cinta.

Namun, sebagaimana novel spionase, novel ini memberikan kejutan-kejutan kepada pembaca, yang tak sesuai dengan dugaan semula. Meskipun, menurut saya, pemotongan adegan tiap babnya kurang cantik, sehingga kurang memancing saya untuk meneruskan membaca.  Juga di bagian ending, rasanya terlalu mudah. Tapi, patutlah diacungi jempol kepada penulisnya, yang sukses menulis novel spionase dengan topik berat sebagai debut kedua.  Tidak mudah menulis novel semacam ini. Terlebih settingnya berganti-ganti antara Gunung Kidul Yogyakarta, Korea, dan Hongkong. Mell sanggup melukiskan setting Korea dengan detil, meskipun tak pernah ke Korea. Kalau Hongkong, saya yakin Mell sudah merekamnya di dalam kepala karena pernah beberapa tahun tinggal di Hongkong. Seperti di novel pertama, ada beberapa dialog yang menggunakan bahasa Korea dan Hongkong.

Ada satu kesalahan bahasa yang banyak terjadi di novel ini, yaitu penggunaan kata “secara.” Salah satunya di halaman 188.

“Waktu tak berpihak padanya, sungguh tak biasa Damar mematikan HP-nya, secara ia seorang wartawan yang selalu berhubungan dengan publik.”

Penggunaan kata “secara” itu tidak tepat. Sayangnya, penulis beberapa kali mengulanginya. Penggunaan kata “secara” yang tidak tepat itu, belakangan ini memang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, tapi sesungguhnya tidak benar dalam kaidah penulisan. “Secara,” artinya “dengan cara.” Jika dimasukkan ke dalam kalimat di atas, jadi bagaimana?

Beberapa kali juga dituliskan kata “Kalian” dengan huruf kapital di awal. Padahal, kata “Kalian” itu ada di tengah-tengah kalimat. Jika kata “Kalian” menggunakan huruf kapital, berarti kata “aku, saya, kamu, mereka” juga menggunakan huruf kapital di awal, ya? Kemungkinan ini kesalahan pada editing.

Sekian cuap-cuap saya. Nikmatnya menjadi pembaca adalah mudah mengomentari apa yang dibacanya, tapi belum tentu bisa menulis yang lebih hebat daripada yang dibacanya, hehehe… Semoga sukses buat Mell Shaliha J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar