Menulis kisah yang hebat, inspiratif, dan menyentuh,
ternyata tidak perlu kata-kata rumit, njelimet, berputar-putar, kaya diksi, dan
yang disebut sebagian besar orang sebagai “nyastra.” Inilah sebuah kisah hebat,
yang ditulis dengan bahasa sederhana. Membacanya, serasa tak ingin meletakkannya
sebelum usai dibaca semuanya.
Buku ini saya dapatkan dari hasil lomba resensi di Penerbit
Red Line. Penerbit yang agaknya khusus menerbitkan buku-buku dari Jepang. Ada
juga buku impor lainnya, tapi kebanyakan dari Jepang. Selain mendapatkan buku
sejarah Samurai dan Ronin, buku sederhana ini—syukurlah—tidak salah saya pilih
sebagai hadiah. Ohya, saya boleh memilih empat judul buku sebagai hadiah lomba
resensi itu. Sebenarnya saya tidak tahu apakah buku ini bagus atau tidak.
Tetapi, setelah membaca beberapa komentar pembaca yang sudah membaca buku ini,
ditambah track recordnya yang best seller, saya pun memutuskan untuk memilih
buku ini.
Sederhana. Bukunya kecil dan halamannya tidak banyak,
sekitar 260 halaman. Dan begitu saya buka, fontnya pun relatif besar. Buat
orang yang pakai kacamata seperti saya, tentu jadi enak dibaca, tidak perlu
menyipitkan mata.
Sinopsis yang tertera di belakang buku, demikianlah:
Akihiro yang
kehilangan ayahnya setelah Hiroshima dibom, terpaksa berpisah dari ibu untuk
tinggal bersama neneknya di Saga. Meskipun keluarganya hidup prihatin, namun
kehidupan di Saga satu peringkat lebih miskin. Tetapi sang nenek selalu punya
ratusan akal untuk meneruskan kehidupan dan mebesarkan cucunya. Dengan ide-ide
cemerlang sang nenek, kehidupan selalu mereka jalani penuh tawa. Sulit memang,
tapi menarik dan mengasyikkan. Namun, waktu terus berjalan dan tibalah hari
ketika Akihiro harus mengambil keputusan. Dia harus memilih antara nenek dan
Saga yang dia cintai atau mengejar mimpi-mimpinya.
Bisa dikatakan, ini sebuah novel memoar, karena diangkat
dari kisah nyata penulisnya. Yoshichi Simada nama sebenarnya Akihiro Tokunaga.
Kini dia berkarya di dunia pertelvisian, panggung, dan sebagainya. Buku ini ditulis
dengan gaya sederhana, dengan pilihan kata yang seperti buku anak-anak; lugas
dan apa adanya. Seperti tulisan-tulisan di Chickensoup. Tidak ada permainan
kata-kata atau bahasa sastra.
Saya kutipkan prolog novel ini ya.
Suatu hari saat makan
malam.
“Nek, dua-tiga hari
ini, kita makan kok hanya nasi ya, tanpa lauk?”
Setelah aku berkata
begitu, sambil tertawa terbahak-bahak, nenekku menjawab, “Besok nasi pun takkan
ada kok.”
Yoshichi menulis dalam prolognya,
“Saat ini dunia sedang
mengalami masa ekonomi yang buruk,” demikian kata semua orang, tapi tak ada
yang mesti dibesar-besarkan. Kita hanya kembali ke masa lalu. Yang berubah itu
sebenarnya manusianya. Karena tidak punya uang. Karena tidak dapat makan di
hotel. Karena tidak dapat berpelesir di luar negeri. Karena tidak dapat membeli
barang-barang bermerk. Bila kita berpikir tanpa semua itu kita jadi tidak
bahagia, sudah jadi apa sebenarnya kita?
Padahal, tanpa uang
pun, cukup dengan perasaan tenang, kita dapat hidup dengan ceria. Kenapa aku
dapat begitu mempercayai itu? Karena nenekku adalah orang yang seperti itu.
Sebelum melangkah
lebih jauh, simaklah dulu kisah nenek gabai (hebat) dari Saga ini. Kebahagiaan
itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu
yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.
Ya, buku ini memang menceritakan kehidupan sederhana si
nenek hebat dari Saga. Akihiro terpaksa diasuh oleh neneknya yang hanya tinggal
sendiri di desa Saga yang terpencil, setelah ayahnya meninggal terkena dampak
bom Hiroshima (jadi, setting novel ini sesaat setelah bom atom dimuntahkan
Amerika ke Hiroshima dan Nagasaki. Dampaknya begitu hebat bagi rakyat Jepang). Semula,
Akihiro ikut ibunya ke Hiroshima, yang bekerja di bar. Berhubung lingkungan itu
kurang kondusif bagi anak sekecil Akihiro (sekitar usia 8 tahun), ibunya pun
menitipkan Akihiro di neneknya, di Saga. Perpisahan Akihiro dengan ibunya di
kereta api, membuatnya trauma. Ia menganggap ibunya tega meninggalkannya di
stasiun kereta, sementara ia dibawa adik ibunya ke Saga.
Terlebih ketika sampai di Saga, ia kebingungan karena gelap
mewarnai desa itu. Tidak ada listrik, bahkan lentera merah pun tidak ada.
Akihiro benar-benar berjalan dalam gelap, ia hanya mengikuti gerak kaki
bibinya. Ketika sampai di rumah neneknya, ia sangat berharap tidak tinggal di
sana. Rumahnya bobrok, beratap jerami, bahkan sebagian jeraminya terlepas. Dan
begitu sampai, ia sudah diajari cara menanak nasi di tungku, dengan menggunakan
kayu bakar, tentu. Keesokan harinya, dimulailah proses kemandiriannya, karena
Nenek Saga sama sekali tidak memanjakannya. Padahal, ia juga harus mengatasi
kerinduannya kepada sang ibu.
Nenek Saga bekerja sebagai tukang sapu di universitas Saga,
honornya tidak seberapa. Yang unik adalah, sepulang dari universitas, nenek
Saga mengajak Akihiro ke supermarket. Tentu kita berpikir supermarket pada
umumnya, ternyata yang ini beda! Supermarket itu adalah sebuah sungai, yang
pada sore hari membawa sampah-sampah sayuran dari pasar. Para pedagang suka
membuang sayur mayur yang tidak laku itu ke sungai. Sebagian masih bagus
kondisinya, dan itulah yang dijaring oleh nenek Saga. Kadang-kadang kalau
beruntung, mereka juga bisa mendapatkan sandal jepit yang masih bagus. Mulanya
hanya satu, tapi tunggu sebentar lagi, juga akan menyusul pasangannya. Siapa
yang mau memakai sandal jepit hanya satu? Kalau yang satu tercebur sungai, yang
satunya lagi juga pasti dibuang ke sungai.
Begitulah. Banyak kisah-kisah kesederhanaan yang didapatkan
Akihiro dari neneknya. Betapa tak memiliki uang sepeser pun tak menjadi masalah
untuk neneknya. Akihiro kadang-kadang makan enak, dari hasil menjaring di
sungai, kadang-kadang hanya makan nasi, kadang-kadang tidak makan. Ketika sudah
bersekolah, ia bahkan sering mendapatkan makanan berkah, alias makanan yang
tiba-tiba datang. Entah mengapa, guru-gurunya sering sakit perut, lalu
memberikan makan siangnya kepada Akihiro. Belakangan, Akihiro tahu, bahwa guru-gurunya
berpura-pura sakit perut, agar bisa memberikan makan siangnya kepada anak yang
ternyata cerdas itu.
Saya belajar banyak dari buku ini, betapa hidup itu bisa
bahagia, meski kita tak memiliki materi berlimpah. Bahkan, Akihiro tetap bisa
bersekolah dan meraih prestasi, meski dalam keterbatasan. Nenek Saga benar-benar nenek super. Sedikit
bicara, tapi banyak bertindak. Tidak pernah mengeluh, bahkan terus memacu
cucunya agar menjadi anak yang kuat dan sukses. Nenek Saga tidak sekolah, tapi
sangat cerdas di mata Akihiro. Kadang Akihiro kesal kepada neneknya, karena
sangat irit. Tetapi, suatu hari ia terkejut, karena si nenek membelikannya
sepatu yang harganya mahal, sepatu khusus bermain baseball. Nenek mengorbankan
seluruh tabungannya untuk sepatu itu, melihat potensi cucunya di olahraga
baseball.
Saya kutipkan satu paragraf di dalam novel ini:
Hanya dengan berkata,
“kita turun temurun miskin” sambil membusungkan dada, Nenek sudah menunjukkan
bahwa dia mengusung cara hidup miskin garis keras. Waktu itu aku berada di
kelas bawah sekolah dasar. Saat itu negara ini baru saja melewati masa perang,
semua orang memang miskin dan banyak anak yang kebutuhan makanannya tidak
terpenuhi dengan baik. Itulah sebabnya sekolah-sekolah mengadakan sesuatu yang
disebut pemeriksaan gizi secara berkala.
Kami harus menjawab
berbagai pertanyaan seperti “pagi ini kaumakan apa?” atau “malam kemarin kau
menyantap apa?” dan sebagainya, menuliskannya di buku catatan, kemudian
mengumpulkannya ke guru.
“Saat sarapan, aku
makan sup miso isi lobster. Saat makan malam, aku makan lobster panggang.”
Demikianlah jawabanku
terus-menerus selama beberapa hari. Melihat jawaban di buku catatanku ini, sang
wali kelas datang ke rumah bobrok kami seusia jam sekolah dengan wajah muram.
Mungkin dia berpikir, dengan rumah seperti ini, bukankah aneh kami makan
lobster dua kali sehari, sudah begitu setiap hari pula.
“Berikut ini jawaban
Tokunaga-kun. Apakah memang benar begitu?” wali kelasku bertanya sambil
menunjukkan buku catatanku ke Nenek. Karena merasa tidak bersalah, aku langsung
bangkit dan membela diri dengan keras.
“Tapi aku tidak
berbohong! Ya, kan, Nek? Kita setiap hari memang makan lobster untuk sarapan
dan makan malam, kan?”
Mendengar ini, kontan
Nenek langsung tertawa terbahak-bahak.
“Sensei, maaf. Yang
kami makan memang bukan lobster, melainkan udang karang. Akulah yang bilang
kepada anak ini bahwa kami makan lobster. Lagipula, bukankah tampilan mereka
sama?”
Ternyata Nenek memang
memberiku makan udang karang, meski memberitahuku lobsterlah yang kami santap.
Omong-omong, udang karang itu pun hasil belanja di supermarket pribadi kami
(sungai depan rumah).
Lihatlah bahwa Yoshichi Simada menuliskannya dengan
sederhana dan apa adanya. Kita seperti sedang mendengar penulisnya bercerita langsung.
Saya yakin semua orang punya pengalaman hidup yang menarik. Dan mulailah
menuliskan pengalaman-pengalaman itu dengan bahasa yang kita kuasai, mudah, dan
tidak bertele-tele. Tidak perlu berpatokan pada sastrawan-sastrawan kelas
berat, apabila kita belum menguasainya. Toh, Rasulullah sendiri menyampaikan Al
Quran dengan bahasa yang dikuasainya, bahasa Arab.
Mutiara-mutiara hidup dari si nenek, saya kutipkan berikut
ini;
Saat kita dibenci, itu
berarti kita menonjol di antara yang lain.
Nilai rapor apa pun
asal bukan nol, tidak masalah. Kalau satu atau dua dijumlahkan, hasilnya akan
tetap lima!
Hiduplah miskin dari
sekarang! Bila sudah kaya, kita jadi berpelesir, jadi makan sushi, jadi
menjahit kimono. Hidup jadi kelewat sibuk.
Ada dua jalan buat orang
miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria.
Sampai mati, manusia
harus punya mimpi! Kalaupun tidak terkabul, bagaimanapun itu kan cuma mimpi.
Orang pintar maupun
orang bodoh. Orang kaya maupun orang miskin. Lima puluh tahun kemudian, semua
bakal sama-sama berusia lima puluh tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar