Judul:
Prince of Korea
Penulis:
Deasylawati P
Penerbit:
Afra Publishing
Tahun
Terbit: Cetakan Ketiga, Desember 2012
Jumlah
Halaman: 160; 20,5 cm
ISBN:
978-602-8277-43-3
Sinopsis: Tak pernah terpikir oleh Pangeran Joon
Sejong bahwa kenekatannya keluar dari istana membawa dampak luar biasa. Semula
ia hanya iseng karena bosan dengan peraturan istana, juga sekadar mengerjai
gurunya, Han Baek Yong. Siapa sangka sejak itu hidupnya berubah. Bukan hanya
harus menyamar menjadi Jae Hyun, ikut bekerja di restoran kebun bersama
teman-teman baru yang aneh, calon kaisar itu juga bertemu dengan gadis manis
ceria, Yeo Jin, yang membuat hatinya terasa hangat. Namun, justru kenekatannya
kabur dari istana, sebuah misteri terungkap dan kebenaran seterang mentari.
Novel
ini sudah lama berada di tangan saya dan sudah berkali-kali hendak saya baca
habis, apa daya—mohon maaf kepada penulisnya—saya tak juga tergerak untuk
menghabiskannya sehingga buku ini lecek seleceknya saking saya bawa ke
mana-mana (supaya dibaca), tapi butuh kekuatan untuk membacanya sampai habis.
Mungkin saya akan banyak mengkritik, jadi saya minta maaf lagi yang kedua kali
untuk penulis dan penerbitnya. Saya gemas untuk mengkritiknya, sueer…..
Saya
tahu maksud Penerbit Afra (imprint Penerbit Indiva) menerbitkan buku ini semata
untuk ikut meraih pasar buku yang saat itu sedang dikuasai oleh buku-buku
bertema Korea sehubungan dengan maraknya Hallyu (fenomena drama Korea) di
teve-teve. Penulis pun dipaksa menyelesaikan novel ini selama satu bulan
–berdasarkan cerita penulis di bagian akhir buku. Tapi sungguh, menurut
pandangan saya, buku ini belum matang. Walaupun begitu, tujuan penerbit telah
tercapai karena buku yang saya pegang ini sudah memasuki cetakan ketiga.
Mari
membaca review saya yang sok tahu ini sambil mengunyah cabe rawit, supaya
pedesnya gak terasa.
Pertama: ide ceritanya sungguh
amat-amat sangat tipikal drama Korea. Pangeran yang kabur dari istana,
kebetulan ketemu sama gadis yang akan menolongnya plus dijatuhi cinta,
intrik-intrik seputar istana, perebutan kekuasaan, dan ya begitulah.
Kedua: penulis yang sangat ingin
kelihatan tahu banget soal Korea, sehingga banyak istilah-istilah dalam bahasa
Korea, ucapan-ucapan dalam bahasa Korea, sejarah Korea, dan sebagainya, yang
jujur saja bikin saya pusing harus menghapalkan semua kata dalam bahasa Korea
itu. Tak heran, ada banyak catatan kaki di setiap halaman buku. Ada juga yang
tidak, berarti kita harus mengingat-ingat lagi tadi itu apa ya artinya? Kalau
saya membaca karya para sastrawan, biarpun mereka mengambil setting di Rusia,
tak banyak istilah Rusia yang dijejalkan ke dalam bukunya dan hanya membuat
pusing pembaca. Hey, kita ini lagi baca novel Rusia atau Indonesia, sih? Maksud
saya, gak perlu banyak-banyak memasukkan bahasa Korea seakan-akan ini kamus
bahasa Korea.
Annyeong haseyo (halaman 16)
Ye, jal jinaemnida, gamsahamnida (halaman
16)
Ye, kureogessumnida, Mama (halaman 20)
Joesonghamnida, sonseangnim, (halaman 44)
Masitege deuseyo (halaman 49)
Saengil chukhahamnida, Harabeoji… (halaman
52)
Annyeonghi jumusyeotseumnikka? (halaman 56)
Dan
seterusnya… *siapin salonpas lidah.
Ketiga: logika, hellooooo….. Oke, deh,
di halaman awal, penerbit atau penulis sudah memberikan peringatan, yaitu, “Cerita ini fiksi semata. Jika ada kesamaan
nama, tempat, dan sebagainya maka hal
itu memang disengaja, tanpa ada maksud mengubah fakta yang sebenarnya. Adapun
fakta sejarah, nama-nama tempat, serta budaya diambil dari sumber-sumber yang
sudah ada.”
Jadi,
kalau ada beberapa adegan yang kayaknya gak masuk di akal, ya sudahlah, namanya
juga fiksi. Kita gak bisa mengganggu gugat, karena ini memang fiksi, cerita
karangan. Misalnya saja adegan-adegan di bawah ini:
“Sejong mengalihkan pandangannya dan melihat
sesuatu yang asing di kejauhan sana, di dekat Gwanghwamun atau Gerbang Istana.
Ada serombongan asing yang mengenakan pakaian seragam yang sama…. Sejong sangat
penasaran dengan rombongan aneh yang belum pernah dilihatnya.” (halaman 10)
Astagaaaa!
Pangeran Sejong ini tinggal di khayangan kali ya, masa pakaian seragam anak SMA
di Korea aja gak tau? Ya, walaupun dia katanya gak sekolah formal, tapi kan…
aaaagrgh! Kuper banget nih Pangeran. Saya kurang jelas juga ini settingnya
tahun berapa, tapi sepertinya masa kini karena disebutkan beberapa alat
elektronik tapi si pangeran ini kayak terbelakang banget, sementara Korsel itu
kan negara maju ya. Apakah sebegitu ketatnya aturan birokrasi kerajaan sampe
pangerannya kurin? (kurang informasi). Bwahahaha…. Bukankah disebutkan bahwa
istana sering dikunjungi oleh rombongan-rombongan—termasuk dari
sekolah-sekolah—tapi kenapa Pangeran kok gak tau kalo itu baju seragam SMA?
Si gadis mengucapkan terima kasih sekali
lagi dan segera minum. “Airnya segar sekali. Sekali lagi terima kasih banyak.
kamu benar-benar baik. Namaku Yeo Jin. Kamu siapa?”
Sejong tersenyum, “Saya hanya tamu lewat
saja.”
“Tapi siapa namamu? Agar aku bisa
mengingatmu?” (halaman 17)
Adegan
apa sih nih? Jadi, ceritanya Pangeran menolong salah satu siswa SMA yang lagi
kunjungan ke istana itu, Yeo Jin, kakinya terkilir. Pangeran membawakan minum.
Yeo Jin bertanya siapa si penolongnya itu. Siapa? SIAPA?!
Bener-bener
keterlaluan ya rakyat yang satu ini, masa gak tau kalau itu Pangeran?
Pangeraaan! Saya aja pernah melihat wajah Pangeran William dan Harry walaupun
hanya di teve, masa kamu gak tau pangeranmu? Oke deh, mari kita baca penjelasan
dari penulisnya ya:
Sejong jarang sekali keluar istana, bahkan
bisa dihitung dengan jari berapa kali ia keluar istana, itupun sudah lama
sekali. Menurut aturan Istana, memang seharusnya begitu, keluarga Kerajaan
memang tidak diperkenankan keluar dari istana sebelum usianya genap 20 tahun
selain pada acara-acara khusus yang mendapat izin langsung dari kaisar. (halaman 14)
Jadi,
pembaca, wajarlah kalau Pangeran Sejong ini tidak dikenal oleh rakyatnya karena
memang peraturan Istana melarangnya tampil ke publik sebelum usia 20 tahun.
Bisa dibayangkan betapa betenya menjadi Pangeran, gak boleh keluar istana
sebelum usia 20 tahun. Mungkin juga gak boleh pegang gadget dan mengupload
fotonya ke sosial media. Hebatnya lagi, paparazzi Korea ini gak bisa mengambil
fotonya sama sekali yak, gak seperti paparazzi Inggris yang selalu sigap
mengabadikan wajah Pangeran George, putra Pangeran William, dari sejak bayi
sampe nanti dewasa. Kebayang kan setting Korea di novel ini, jadul banget.
Daaaan…
semua orang yang bertemu dengan Pangeran Sejong setelah kabur dari istana pun,
gak ada yang mengenal Pangeran ini. Kasian banget nih Pangeran. Anggota
kerajaan, tapi rakyatnya gak ada yang kenal sama sekali.
Eh,
tapi….
Di dalam istana, satu-satunya teknologi yang
boleh ia pegang dan selalu up to date hanyalah komputer dan notebook. Selain
itu, ia hanya pernah melihatnya sesekali di TV—yang program acaranya sudah
diatur oleh gurunya—dan juga internet. (halaman
59).
Astagggaaah!
Jadi, ini settingnya masa kini, masa di mana keterbukaan sangat jelas, tapi
warga Korea ini gak kenal sama Pangerannya! *tepok jidat.
Keempat, nilai islami yang dipaksakan. Berhubung
Penerbit Indiva ini adalah Penerbit Islam, jadi novel Korea buatan Indonesia
ini harus ada nilai islaminya. Apakah itu?
Yeo Jin tersenyum, “Oppa dan Appa itu
muslim. Oppa lebih dulu, lalu Appa masuk Islam beberapa tahun lalu. Appa masih
belajar banyak, sementara Oppa sudah banyak paham tentang agama yang dianutnya
itu. Jadi, Oppa menerapkannya dalam perlindungan yang diberikannya kepadaku,
juga membuatnya selalu memiliki sikap tersendiri yang membuatku kagum.” (halaman 86)
Oke
deh, jadi supaya novel ini masuk kategori islami juga, maka dibuatlah dua tokoh
beragama Islam, yang adalah Appa (ayah) dan Oppa (kakak) Yeo Jin. Begitu saja.
Yak, gampang, kan masukin nilai islami ke dalam sebuah novel? :P Saya bukan
sekali dua kali membaca novel islami yang dipaksakan, apalagi kalau settingnya
di luar negeri yang bukan mayoritas muslim. Pasti cara mengislamikannya ya
dengan memasukkan tokoh-tokoh mualaf, padahal nilai islami gak mesti begitu
kan?
Kelima, bahasa Om Google. Saya tahu,
penulis yang belum pernah ke suatu tempat yang menjadi latar ceritanya,
sebagian besar bertanya ke Google, ditambah referensi lain, misal dari buku
atau dari orang yang sudah pernah berkunjung ke sana. Yang membedakan, ada
penulis yang bisa mengolah data dari Google itu dengan bahasanya sendiri, ada
yang tidak bisa.
Min Jeung mengajak Jae Hyun ke sebuah
bangunan besar berkubah dengan banyak tangga. Bangunan putih, yang terletak di
distrik Itaewon itu menjulang megah dan anggun, dengan deretan bunga-bungan
yang ditata apik pada bagian sekitar kanan dan kiri tangga. Tempat itu adalah
Seoul Central Masjid and Islamic Centre, masjid pertama yang dibangun di Korea.
Masjid ini selesai dibangun dan dibuka untuk
publik pada tahun 1974. Tidak hanya sebagai tempat salat, di dalam kompleks
masjid terdapat ruang-ruang kantor, ruang kelas, sekolah, juga aula untuk
konferensi. Hal ini dimaksudkan agar masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai
tempat salat saja, namun juga sebagai pusat dakwah dan pendidikan.
Islam pertama kali mulai dikenal di Korea
sejak tahun 1955 dengan datangannya tentara Turki untuk miri perdamaian di
bawah PBB. Mereka membangun sebuah tempat salat sederhana dari tenda dan
mengenalkan tentang Islam di Korea. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai ada dan
jumlahnya terus bertambah. (halaman 103)
Membaca
penjelasan di atas, saya seperti sedang membaca buku nonfiksi sejarah Korea dan
bukannya novel. Ini juga ada lagi,
Raja Sejong atau disebut dengan Raja Sejong
Yang Agung (Sejong Dae Wang) adalah Raja ke-4 dari Dinasti Joseon yang
memerintah Korea. Raja Sejong sangat terkenal karena jasanya dalam menciptakan
abjad Korea, Hangeul, yang menggantikan penggunaan cara penulisan dengan Hanja.
Raja Sejong adalah penguasa Korea kedua yang mendapatkan gelar Raja Yang Agung
atau Raja Besar setelah Raja Gwanggaeto dari kerajaan Goguryeo. Raja Sejong
ada;ah seorang ahli militer yang brilian. Ia juga sangat terkenal akan
kepandaiannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masa
pemerintahannya. (halaman 104)
Memang,
mengkritik itu lebih gampang daripada menulis, hehehe…. Tapi sebenarnya, saya
juga bukan pengkritik yang jeli. Kalau buku tersebut sudah sangat bagus di mata
saya, percaya deh, saya akan susah mengkritiknya. Saya gak bisa mencari-cari
kesalahan penulis. Novel ini bukannya tidak bagus. Hanya tidak matang
pengolahannya. Ibarat kue bolu yang belum selesai dipanggang tapi ovenannya
mati karena listrik padam. Adonannya jadi berantakan dan tidak enak disantap.
Jika penulis lebih bersabar mengolahnya, saya yakin ini akan menjadi novel yang
lebih bagus dan kesan islaminya tidak sekadar tempelan.
novel ini katanya termasuk novel indiva yg laris lhoo, sempet cetak ulang juga, hehe
BalasHapusLaah ya itu, mba Lyta, bisa cetul terus ya.. hihihi....
HapusSetelah membaca review ini, saya harus bilang; 'Astagaaa....kalau memang seperti yang tertulis itu adanya, berarti sebegitu parahnya novel ini.'
BalasHapusUps..maaf, saya memang belum membaca novel ini, tapi coba saya koreksi kejanggalan besar yang ada di novel ini, yaitu soal pemberian nama untuk pangeran.
Memang, pangeran dalam novel ini adalah pangeran yang hidup di jaman modern, yang berarti ayahnya yang seorang raja juga hidup di jaman modern. Meski demikian, TIDAK ada satupun keturunan raja Joseon yang memiliki nama Sejong setelah Raja Yang Agung Sejong wafat pada abad ke-15. Bahkan meski itu tokoh raja atau pangeran fiksi, tak ada yang memberi nama dengan sebutan Sejong.
Sebenarnya, raja-raja Korea memiliki dua nama, yaitu nama asli dan nama nama kuil. Semua raja Korea (meski raja fiksi) harus bermarga 'Lee' di mana marga yang diikuti nama personal, itulah nama asli. Misalnya Raja Yang Agung Sejong nih, nama aslinya adalah Lee Do dengan nama kuil Sejong. Contoh lain Raja Sukjong, nama aslinya Lee Sun dengan nama kuil Sukjong.
Intinya, nama asli ya pakai marga 'Lee' sementara nama kuil biasanya berakhiran 'Jo' atau 'Jong'.
Saat masih sebagai putra mahkota, mereka memakai nama asli namun ketika menjadi raja, mereka tidak dipanggil dengan nama asli melainkan nama kuil. Misal Yang Mulia Raja Sukjong BUKAN Yang Mulia Raja Lee Sun.
Jika melihat nama pangeran, 'Joon Sejong', ini rancu karena menggabungkan nama asli dan nama kuil.
Apakah maksudnya 'Joon' adalah marganya? Apakah tidak ada 'Lee' sebelum 'Joon'? Bahkan dalam drama-drama raja atau pangeran rekaan seperti drama 'Princess Hours' dan 'King Two Hearts', nama-nama pangeran dalam drama-drama tersebut, semua bermarga 'Lee'.
Karena jika memang begitu kenyataannya (bukan bermarga Lee maksudnya), maka penulis sudah melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Jika dibaca oleh orang Korea, mungkin saja mereka akan tersinggung, karena keturunan raja-raja mereka tiba-tiba bermarga 'Joon', hehehe...
Aduh, maaf mbak ela, jadi panjang ternyata, hehe...
Hehehehe.... Kak Eky lebih pantes nih nulis novel Korea-koreaan. Bisa tau detil soal nama. Informasi baru buat aku nih. Mudah2an gak ada orang Korea yang baca novel ini ya, mbak :D
Hapus