Kamis, 26 Juni 2014

Prince of Korea: Ketika Logika Tak Mengurung Imajinasi


Judul: Prince of Korea
Penulis: Deasylawati P
Penerbit: Afra Publishing
Tahun Terbit: Cetakan Ketiga, Desember 2012
Jumlah Halaman: 160; 20,5 cm
ISBN: 978-602-8277-43-3

Sinopsis: Tak pernah terpikir oleh Pangeran Joon Sejong bahwa kenekatannya keluar dari istana membawa dampak luar biasa. Semula ia hanya iseng karena bosan dengan peraturan istana, juga sekadar mengerjai gurunya, Han Baek Yong. Siapa sangka sejak itu hidupnya berubah. Bukan hanya harus menyamar menjadi Jae Hyun, ikut bekerja di restoran kebun bersama teman-teman baru yang aneh, calon kaisar itu juga bertemu dengan gadis manis ceria, Yeo Jin, yang membuat hatinya terasa hangat. Namun, justru kenekatannya kabur dari istana, sebuah misteri terungkap dan kebenaran seterang mentari.


Novel ini sudah lama berada di tangan saya dan sudah berkali-kali hendak saya baca habis, apa daya—mohon maaf kepada penulisnya—saya tak juga tergerak untuk menghabiskannya sehingga buku ini lecek seleceknya saking saya bawa ke mana-mana (supaya dibaca), tapi butuh kekuatan untuk membacanya sampai habis. Mungkin saya akan banyak mengkritik, jadi saya minta maaf lagi yang kedua kali untuk penulis dan penerbitnya. Saya gemas untuk mengkritiknya, sueer…..

Saya tahu maksud Penerbit Afra (imprint Penerbit Indiva) menerbitkan buku ini semata untuk ikut meraih pasar buku yang saat itu sedang dikuasai oleh buku-buku bertema Korea sehubungan dengan maraknya Hallyu (fenomena drama Korea) di teve-teve. Penulis pun dipaksa menyelesaikan novel ini selama satu bulan –berdasarkan cerita penulis di bagian akhir buku. Tapi sungguh, menurut pandangan saya, buku ini belum matang. Walaupun begitu, tujuan penerbit telah tercapai karena buku yang saya pegang ini sudah memasuki cetakan ketiga.

Mari membaca review saya yang sok tahu ini sambil mengunyah cabe rawit, supaya pedesnya gak terasa.

Pertama: ide ceritanya sungguh amat-amat sangat tipikal drama Korea. Pangeran yang kabur dari istana, kebetulan ketemu sama gadis yang akan menolongnya plus dijatuhi cinta, intrik-intrik seputar istana, perebutan kekuasaan, dan ya begitulah.

Kedua: penulis yang sangat ingin kelihatan tahu banget soal Korea, sehingga banyak istilah-istilah dalam bahasa Korea, ucapan-ucapan dalam bahasa Korea, sejarah Korea, dan sebagainya, yang jujur saja bikin saya pusing harus menghapalkan semua kata dalam bahasa Korea itu. Tak heran, ada banyak catatan kaki di setiap halaman buku. Ada juga yang tidak, berarti kita harus mengingat-ingat lagi tadi itu apa ya artinya? Kalau saya membaca karya para sastrawan, biarpun mereka mengambil setting di Rusia, tak banyak istilah Rusia yang dijejalkan ke dalam bukunya dan hanya membuat pusing pembaca. Hey, kita ini lagi baca novel Rusia atau Indonesia, sih? Maksud saya, gak perlu banyak-banyak memasukkan bahasa Korea seakan-akan ini kamus bahasa Korea.

Annyeong haseyo (halaman 16)
Ye, jal jinaemnida, gamsahamnida (halaman 16)
Ye, kureogessumnida, Mama (halaman 20)
Joesonghamnida, sonseangnim, (halaman 44)
Masitege deuseyo (halaman 49)
Saengil chukhahamnida, Harabeoji… (halaman 52)
Annyeonghi jumusyeotseumnikka? (halaman 56)
Dan seterusnya… *siapin salonpas lidah.

Ketiga: logika, hellooooo….. Oke, deh, di halaman awal, penerbit atau penulis sudah memberikan peringatan, yaitu, “Cerita ini fiksi semata. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan sebagainya  maka hal itu memang disengaja, tanpa ada maksud mengubah fakta yang sebenarnya. Adapun fakta sejarah, nama-nama tempat, serta budaya diambil dari sumber-sumber yang sudah ada.”

Jadi, kalau ada beberapa adegan yang kayaknya gak masuk di akal, ya sudahlah, namanya juga fiksi. Kita gak bisa mengganggu gugat, karena ini memang fiksi, cerita karangan. Misalnya saja adegan-adegan di bawah ini:

“Sejong mengalihkan pandangannya dan melihat sesuatu yang asing di kejauhan sana, di dekat Gwanghwamun atau Gerbang Istana. Ada serombongan asing yang mengenakan pakaian seragam yang sama…. Sejong sangat penasaran dengan rombongan aneh yang belum pernah dilihatnya.” (halaman 10)

Astagaaaa! Pangeran Sejong ini tinggal di khayangan kali ya, masa pakaian seragam anak SMA di Korea aja gak tau? Ya, walaupun dia katanya gak sekolah formal, tapi kan… aaaagrgh! Kuper banget nih Pangeran. Saya kurang jelas juga ini settingnya tahun berapa, tapi sepertinya masa kini karena disebutkan beberapa alat elektronik tapi si pangeran ini kayak terbelakang banget, sementara Korsel itu kan negara maju ya. Apakah sebegitu ketatnya aturan birokrasi kerajaan sampe pangerannya kurin? (kurang informasi). Bwahahaha…. Bukankah disebutkan bahwa istana sering dikunjungi oleh rombongan-rombongan—termasuk dari sekolah-sekolah—tapi kenapa Pangeran kok gak tau kalo itu baju seragam SMA?

Si gadis mengucapkan terima kasih sekali lagi dan segera minum. “Airnya segar sekali. Sekali lagi terima kasih banyak. kamu benar-benar baik. Namaku Yeo Jin. Kamu siapa?”
Sejong tersenyum, “Saya hanya tamu lewat saja.”
“Tapi siapa namamu? Agar aku bisa mengingatmu?” (halaman 17)

Adegan apa sih nih? Jadi, ceritanya Pangeran menolong salah satu siswa SMA yang lagi kunjungan ke istana itu, Yeo Jin, kakinya terkilir. Pangeran membawakan minum. Yeo Jin bertanya siapa si penolongnya itu. Siapa? SIAPA?!

Bener-bener keterlaluan ya rakyat yang satu ini, masa gak tau kalau itu Pangeran? Pangeraaan! Saya aja pernah melihat wajah Pangeran William dan Harry walaupun hanya di teve, masa kamu gak tau pangeranmu? Oke deh, mari kita baca penjelasan dari penulisnya ya:

Sejong jarang sekali keluar istana, bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali ia keluar istana, itupun sudah lama sekali. Menurut aturan Istana, memang seharusnya begitu, keluarga Kerajaan memang tidak diperkenankan keluar dari istana sebelum usianya genap 20 tahun selain pada acara-acara khusus yang mendapat izin langsung dari kaisar. (halaman 14)

Jadi, pembaca, wajarlah kalau Pangeran Sejong ini tidak dikenal oleh rakyatnya karena memang peraturan Istana melarangnya tampil ke publik sebelum usia 20 tahun. Bisa dibayangkan betapa betenya menjadi Pangeran, gak boleh keluar istana sebelum usia 20 tahun. Mungkin juga gak boleh pegang gadget dan mengupload fotonya ke sosial media. Hebatnya lagi, paparazzi Korea ini gak bisa mengambil fotonya sama sekali yak, gak seperti paparazzi Inggris yang selalu sigap mengabadikan wajah Pangeran George, putra Pangeran William, dari sejak bayi sampe nanti dewasa. Kebayang kan setting Korea di novel ini, jadul banget.

Daaaan… semua orang yang bertemu dengan Pangeran Sejong setelah kabur dari istana pun, gak ada yang mengenal Pangeran ini. Kasian banget nih Pangeran. Anggota kerajaan, tapi rakyatnya gak ada yang kenal sama sekali.

Eh, tapi….

Di dalam istana, satu-satunya teknologi yang boleh ia pegang dan selalu up to date hanyalah komputer dan notebook. Selain itu, ia hanya pernah melihatnya sesekali di TV—yang program acaranya sudah diatur oleh gurunya—dan juga internet. (halaman 59).

Astagggaaah! Jadi, ini settingnya masa kini, masa di mana keterbukaan sangat jelas, tapi warga Korea ini gak kenal sama Pangerannya! *tepok jidat.

Keempat, nilai islami yang dipaksakan. Berhubung Penerbit Indiva ini adalah Penerbit Islam, jadi novel Korea buatan Indonesia ini harus ada nilai islaminya. Apakah itu?

Yeo Jin tersenyum, “Oppa dan Appa itu muslim. Oppa lebih dulu, lalu Appa masuk Islam beberapa tahun lalu. Appa masih belajar banyak, sementara Oppa sudah banyak paham tentang agama yang dianutnya itu. Jadi, Oppa menerapkannya dalam perlindungan yang diberikannya kepadaku, juga membuatnya selalu memiliki sikap tersendiri yang membuatku kagum.” (halaman 86)

Oke deh, jadi supaya novel ini masuk kategori islami juga, maka dibuatlah dua tokoh beragama Islam, yang adalah Appa (ayah) dan Oppa (kakak) Yeo Jin. Begitu saja. Yak, gampang, kan masukin nilai islami ke dalam sebuah novel? :P Saya bukan sekali dua kali membaca novel islami yang dipaksakan, apalagi kalau settingnya di luar negeri yang bukan mayoritas muslim. Pasti cara mengislamikannya ya dengan memasukkan tokoh-tokoh mualaf, padahal nilai islami gak mesti begitu kan?

Kelima, bahasa Om Google. Saya tahu, penulis yang belum pernah ke suatu tempat yang menjadi latar ceritanya, sebagian besar bertanya ke Google, ditambah referensi lain, misal dari buku atau dari orang yang sudah pernah berkunjung ke sana. Yang membedakan, ada penulis yang bisa mengolah data dari Google itu dengan bahasanya sendiri, ada yang tidak bisa.

Min Jeung mengajak Jae Hyun ke sebuah bangunan besar berkubah dengan banyak tangga. Bangunan putih, yang terletak di distrik Itaewon itu menjulang megah dan anggun, dengan deretan bunga-bungan yang ditata apik pada bagian sekitar kanan dan kiri tangga. Tempat itu adalah Seoul Central Masjid and Islamic Centre, masjid pertama yang dibangun di Korea.

Masjid ini selesai dibangun dan dibuka untuk publik pada tahun 1974. Tidak hanya sebagai tempat salat, di dalam kompleks masjid terdapat ruang-ruang kantor, ruang kelas, sekolah, juga aula untuk konferensi. Hal ini dimaksudkan agar masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat salat saja, namun juga sebagai pusat dakwah dan pendidikan.

Islam pertama kali mulai dikenal di Korea sejak tahun 1955 dengan datangannya tentara Turki untuk miri perdamaian di bawah PBB. Mereka membangun sebuah tempat salat sederhana dari tenda dan mengenalkan tentang Islam di Korea. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai ada dan jumlahnya terus bertambah. (halaman 103)

Membaca penjelasan di atas, saya seperti sedang membaca buku nonfiksi sejarah Korea dan bukannya novel. Ini juga ada lagi,

Raja Sejong atau disebut dengan Raja Sejong Yang Agung (Sejong Dae Wang) adalah Raja ke-4 dari Dinasti Joseon yang memerintah Korea. Raja Sejong sangat terkenal karena jasanya dalam menciptakan abjad Korea, Hangeul, yang menggantikan penggunaan cara penulisan dengan Hanja. Raja Sejong adalah penguasa Korea kedua yang mendapatkan gelar Raja Yang Agung atau Raja Besar setelah Raja Gwanggaeto dari kerajaan Goguryeo. Raja Sejong ada;ah seorang ahli militer yang brilian. Ia juga sangat terkenal akan kepandaiannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masa pemerintahannya. (halaman 104)

Memang, mengkritik itu lebih gampang daripada menulis, hehehe…. Tapi sebenarnya, saya juga bukan pengkritik yang jeli. Kalau buku tersebut sudah sangat bagus di mata saya, percaya deh, saya akan susah mengkritiknya. Saya gak bisa mencari-cari kesalahan penulis. Novel ini bukannya tidak bagus. Hanya tidak matang pengolahannya. Ibarat kue bolu yang belum selesai dipanggang tapi ovenannya mati karena listrik padam. Adonannya jadi berantakan dan tidak enak disantap. Jika penulis lebih bersabar mengolahnya, saya yakin ini akan menjadi novel yang lebih bagus dan kesan islaminya tidak sekadar tempelan.


4 komentar:

  1. novel ini katanya termasuk novel indiva yg laris lhoo, sempet cetak ulang juga, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Laah ya itu, mba Lyta, bisa cetul terus ya.. hihihi....

      Hapus
  2. Setelah membaca review ini, saya harus bilang; 'Astagaaa....kalau memang seperti yang tertulis itu adanya, berarti sebegitu parahnya novel ini.'
    Ups..maaf, saya memang belum membaca novel ini, tapi coba saya koreksi kejanggalan besar yang ada di novel ini, yaitu soal pemberian nama untuk pangeran.
    Memang, pangeran dalam novel ini adalah pangeran yang hidup di jaman modern, yang berarti ayahnya yang seorang raja juga hidup di jaman modern. Meski demikian, TIDAK ada satupun keturunan raja Joseon yang memiliki nama Sejong setelah Raja Yang Agung Sejong wafat pada abad ke-15. Bahkan meski itu tokoh raja atau pangeran fiksi, tak ada yang memberi nama dengan sebutan Sejong.
    Sebenarnya, raja-raja Korea memiliki dua nama, yaitu nama asli dan nama nama kuil. Semua raja Korea (meski raja fiksi) harus bermarga 'Lee' di mana marga yang diikuti nama personal, itulah nama asli. Misalnya Raja Yang Agung Sejong nih, nama aslinya adalah Lee Do dengan nama kuil Sejong. Contoh lain Raja Sukjong, nama aslinya Lee Sun dengan nama kuil Sukjong.
    Intinya, nama asli ya pakai marga 'Lee' sementara nama kuil biasanya berakhiran 'Jo' atau 'Jong'.
    Saat masih sebagai putra mahkota, mereka memakai nama asli namun ketika menjadi raja, mereka tidak dipanggil dengan nama asli melainkan nama kuil. Misal Yang Mulia Raja Sukjong BUKAN Yang Mulia Raja Lee Sun.
    Jika melihat nama pangeran, 'Joon Sejong', ini rancu karena menggabungkan nama asli dan nama kuil.
    Apakah maksudnya 'Joon' adalah marganya? Apakah tidak ada 'Lee' sebelum 'Joon'? Bahkan dalam drama-drama raja atau pangeran rekaan seperti drama 'Princess Hours' dan 'King Two Hearts', nama-nama pangeran dalam drama-drama tersebut, semua bermarga 'Lee'.
    Karena jika memang begitu kenyataannya (bukan bermarga Lee maksudnya), maka penulis sudah melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Jika dibaca oleh orang Korea, mungkin saja mereka akan tersinggung, karena keturunan raja-raja mereka tiba-tiba bermarga 'Joon', hehehe...
    Aduh, maaf mbak ela, jadi panjang ternyata, hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe.... Kak Eky lebih pantes nih nulis novel Korea-koreaan. Bisa tau detil soal nama. Informasi baru buat aku nih. Mudah2an gak ada orang Korea yang baca novel ini ya, mbak :D

      Hapus