Judul: Nur Jahan the Queen of Mughal
Penulis: Indu Sundaresan
Penerbit: Hikmah (PT. Mizan Publika)
Tahun Terbit: Cetakan I, Mei 2008
Jumlah Halaman: xvi + 684
ISBN: 979-979-114-179-5
Kejahatan terbesar di dunia
literasi adalah buku yang tidak dibaca. Selama beberapa tahun, saya sudah
berbuat jahat terhadap buku ini karena membiarkannya teronggok di rak buku dengan hanya membaca dua bab pertama.
Dulu, saya dibuat capai oleh tuturan penulis yang padat deskripsi. Minggu lalu,
akibat menonton film serial Jodha Akbar yang mengangkat kisah kesultanan Islam
Mughal di India, saya tertarik untuk
membaca kembali novel ini. Saya mengira akan menemukan kisah tentang Ratu
Jodha, ternyata tak ada. Hanya disebut nama Ratu Ruqayya, rival Ratu Jodha,
yang juga istri kesayangan Raja Akbar. Nur Jahan: the Queen of Mughal tidak
berkisah tentang Ratu Jodha, melainkan Ratu Nur Jahan, istri kedua puluh Raja
Jahangir, putra Raja Akbar. Kisah Raja Akbar diceritakan sekilas, bahwa
kerajaannya diambil paksa oleh Raja Jahangir, putra kesayangannya.
Kisah ini adalah kisah pembuka
dari rentetan sejarah Taj Mahal, bangunan fenomenal di India yang menjadi saksi
bisu kejayaan kesultanan Islam Mughal. Taj Mahal adalah nama lain dari Arjumand
Banu, keponakan Ratu Nur Jahan yang kelak akan menggantikan Ratu Nur Jahan naik
takhta melalui sederet pertumpahan darah yang dilakukan oleh Raja Syah Jahan,
suami Arjumand Banu. Taj Mahal boleh menjadi bangunan bersejarah, tetapi
penulis novel ini mengatakan bahwa Mehrunnisalah atau Ratu Nur Jahan, yang
lebih bsanyak memiliki peran dalam sejarah kesultanan Mughal. Seorang wanita
yang dapat mengendalikan Sultan, hingga tunduk patuh kepadanya.
Mehrunnisa, sudah menjadi cinta
pertama Pangeran Jahangir sejak masih belia. Di usia belasan, Mehrunnisa
bekerja pada Ratu Ruqayya, mengasuh Pangeran Khurram, putra Ratu Jagat Gossini,
istri Pangeran Jahangir. Di zaman itu, amatlah biasa seorang Raja dan Pangeran
memiliki banyak istri. Ratu Jagat Gossini berseteru dengan mertua tirinya, Ratu
Ruqayya. Ratu Ruqayya yang tak memiliki anak, bersikeras mengasuh cucu tirinya,
Pangeran Khurram, dan diijinkan oleh Pangeran Jahangir. Hingga kemudian,
Jahangir naik takhta dan Ratu Jagat Gossini menjadi Padhsah Begam, atau Ratu
Utama.
Di usia belasan itu, Mehrunnisa
sudah jatuh cinta kepada Pangeran Jahangir, begitu juga sebaliknya. Tetapi,
Ratu Ruqayya tak membiarkan cinta itu berkembang. Ia menikahkan Mehrunnisa
dengan Ali Quli, seorang prajurit. Dari pernikahan itu, Mehrunnisa dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Ladhli. Sedangkan Pangeran Jahangir yang
diangkat menjadi Raja, menikah sebanyak 19 kali. Hal yang biasa pada zaman itu,
belum ditambah dengan harem-haremnya yang dikumpulkan di dalam zenana. Zenana
ini adalah istana para perempuan, tak boleh ada lelaki dewasa pun yang
memasukinya kecuali Sultan dan para kasim (lelaki yang sudah dikebiri sehingga
tak punya nafsu syahwat lagi). Tentang kasim-kasim ini, menjawab pertanyaan
saya mengapa di film Jodha Akbar, banyak laki-laki berpakaian wanita yang
melayani istri-istri Raja? Rupanya, itulah kasim-kasim yang ditugaskan menjaga
para istri raja. Mereka memiliki kekuatan laki-laki yang dapat melindungi para
wanita, tetapi tak memiliki nafsu syahwat sehingga tidak membahayakan.
Istri-istri Raja dan Pangeran
digambarkan mengenakan cadar bila hendak meninggalkan zenana dan tak boleh ada
seorang lelaki pun yang diperkenankan memandang wajah mereka. Pakaian mereka
sangat tertutup, hingga tak ada seorang lelaki pun selain Sultan, yang dapat
menggambarkan seperti apa wajah ratu. Terkurung di istana dan harus mengenakan
cadar, pastilah kita mengira para istri itu tidak memiliki kebebasan.
Sebaliknya, mereka memiliki kekuasaan yang luas ke seantero negeri, karena
mendapatkan kekayaan dari hasil perdagangan. Kekayaan para istri itu tak dapat
ditandingi oleh wanita biasa, yang bebas berkeliaran di jalan-jalan.
Di usia 34 tahun, Ali Quli
meninggal karena dibunuh dan Mehrunnisa menjadi janda. Sultan Jahangir tak
menyiakan kesempatan itu untuk menikahi wanita yang dicintainya. Mehrunnisa
menjadi istri ke-20 dan mendapatkan gelar Nur Jahan (Cahaya Dunia). Walaupun
sudah menikah 20 kali, istri Sultan Jahangir yang masih bersamanya hanya dua:
Ratu Jagat Gossini dan Nur Jahan. Kedua ratu ini pun bersaing memperoleh kedudukan
istimewa di mata Sultan. Sayangnya, cinta Sultan Jahangir sudah dirampas
semuanya oleh Mehrunnisa, yang memiliki kecantikan luar biasa. Digambarkan
bahwa Mehrunnisa memiliki sepasang mata biru yang sangat indah. Walaupun sudah
janda dan usianya juga sudah tua, Mehrunnisa tak terlihat seperti wanita yang
tua.
Saking cintanya kepada
Mehrunnisa, Sultan Jahangir tanpa sadar meletakkan kepemimpinannya di tangan
Mehrunnisa. Ratu Jagat Gossini pun disingkirkan, tak lagi menjadi Padhsah
Begum. Semua keputusan Sultan dibuat atas persetujuan Mehrunnisa. Hal yang
tidak lazim bagi adat dan tradisi kala itu di mana wanita tak memiliki harga, tak seharusnya mengendalikan
kesultanan. Banyak bangsawan istana yang protes diam-diam. Konflik mulai
memanas ketika Mehrunnisa hendak menjodohkan Pangeran Khurram dengan Ladhli,
padahal Pangeran sudah menikah dengan Arjumand Banu, keponakan Mehrunnisa. Hal
itu agar kelak Mehrunnisa masih dapat mengendalikan pemerintahan, sekalipun
Pangeran Khurran sudah naik takhta. Peperangan antar saudara pun terjadi,
disertai intrik-intrik khas kerajaan. Betapa mengerikan, demi takhta, seorang
adik tega membunuh kakak dan adiknya.
Sepanjang cerita, saya dibuat
gemas oleh kecerdikan dan kelicikan Mehrunnisa. Sebagai seorang penganut
monogami, rasanya gemas membayangkan istri ke-20 lebih berkuasa dibandingkan
istri ke-2. Jagat Gossini adalah istri kedua Raja Jahangir, tetapi posisinya
seketika bergeser setelah Jahangir menikahi Mehrunnisa. Saya dapat membayangkan
kesedihan Jagat Gossini karena suaminya lebih betah tinggal di kediaman
Mehrunnisa yang cantik dan menggairahkan. Lebih gemas lagi tatkala Mehrunnisa
berusaha mengendalikan pemerintahan di belakang punggung suaminya. Mehrunnisa
melakukan segala daya dan upaya untuk mempertahankan takhta.
Sebagai seorang sultan dari
kerajaan Islam, gaya hidup Sultan dan anak-anaknya pun seolah tidak
mencerminkan ajaran Islam. Sering disebutkan bahwa Sultan melakukan salat
menghadap Mekkah, tetapi juga kerap minum anggur (minuman keras) dan mengisap
opium sampai mabuk. Belum lagi dengan koleksi harem (selir atau gundik) yang
ribuan jumlahnya yang sebagiannya beragama Hindu, sedangkan Sultan seorang
muslim. Bukankah dalam Islam, pernikahan berbeda agama itu dilarang? Sultan juga
merayakan Holi, hari raya agama Hindu. Beberapa adegan menggambarkan Pangeran
Khurram bermain-main dengan harem-haremnya, ketika Arjumand sedang sakit. Barangkali,
itulah budaya pada masa itu di mana wanita masih diperjualbelikan sebagai
budak, dan budak boleh digauli layaknya suami istri. Bukan hanya terjadi di
dalam kerajaan Mughal, tapi juga di seluruh kerajaan Asia (Cina, Korea, Jepang,
dll), Afrika, bahkan Eropa. Syukurlah, saya lahir di masa perbudakan sudah
dihapuskan.
Sultan adalah gambaran
pemerintahan Khilafah pada masa itu. Mestinya, kehadiran kesultanan berfungsi
untuk menyebarkan agama Islam, tetapi cerita di dalam novel ini justru
menggambarkan keburukan-keburukan Sultan dan anak-anaknya. Kecuali dua, Sultan
Jahangir digambarkan sebagai raja yang adil. Beliau membuat sebuah rantai yang
panjang dengan 19 bel yang berbunyi super kencang. Siapa saja yang ingin
mengadukan ketidakadilan yang menimpanya, dapat membunyikan bel itu. Sultan
akan segera melayani karena bel itu bergema ke seluruh istana. Sultan juga
melakukan dengar pendapat setiap hari di Jharoka (semacam balai sidang), siapa
pun boleh mengajukan pendapat bila beruntung dipilih oleh Sultan.
Setelah saya mencari referensi
mengenai sejarah kesultanan Islam Mughal, ternyata memang pada masa
pemerintahan Sultan Jalal Akbar, Jehangir, dan Syah Jahan, diterapkan sistem
pemerintahan Toleransi Universal. Hukum syariah hanya ditegakkan di pengadilan,
sedangkan dalam kehidupan sehari-hari diabaikan. Di satu sisi, sistem toleransi
universal ini dapat menyatukan seluruh India karena Sultan membaur dengan
masyarakat India yang plural. Di sisi lain, tentu saja kesultanan menjadi tidak
mencerminkan Islam, meskipun label Sultan itu identik dengan pemerintahan
Islam.
Sayangnya, novel ini lebih
terfokus pada konflik perebutan kekuasaan. Entah apakah karena penulisnya bukan
seorang muslim, jadi titik berat cerita lebih banyak pada intrik-intrik
perebutan kekuasaan. Karena itu saya ingin sekali membaca cerita sejarah Islam
dari sisi keislamannya, ditulis oleh penulis muslim yang memandang kesultanan
dari sisi lain. Dulu saya pernah membaca buku nonfiksi tentang sejarah Islam
yang menyebutkan bahwa kejatuhan kerajaan-kerajaan Islam disebabkan oleh
buruknya akhlak pemimpim-pemimpin Islam di akhir kekhalifahan, yaitu suka
mabuk, bermain wanita, membunuh, merampok harta rakyat, dan lain sebagainya.
Wallahu’alam bisshawab. Yang pasti, saya semakin tertarik ingin membaca lebih
banyak lagi mengenai sejarah kekhalifahan Islam.
Bila awalnya saya
tersendat-sendat membaca novel ini, setelah selesai saya malah ingin membaca
novel-novel lain yang sejenis. Terutama dari sisi harem-harem sang raja. Saya
merasa ada kemiripan kisah ini dengan kisah Raja Suleiman yang kisahnya
ditayangkan di televisi dengan judul “Abad Kejayaan.” Di sana juga diceritakan
persaingan antara ratu pertama dengan istri baru raja yang seorang budak
Polandia bernama Hurrem. Apakah semua kesultanan memiliki jalan cerita yang
mirip berupa perebutan takhta dan intrik di antara ratu-ratunya? Ataukah
cerita-cerita itu hanya khayalan para novelis?
Nah, ditunggu bantahan dari penulis-penulis muslim mengenai kebenaran
sejarah yang sesungguhnya.
Ngeri yya kalau baca kehidupan sultan2 dulu dan haremnya...
BalasHapusAku pernah baca Taj Mahal. Sungguh mengharukan.
BalasHapusPengen baca ini juga ah
Saya sudah lama membaca seri novel Nur Jahan ini, mulai dari Mehrunisa (menceritakan sosok nur jahan sebelum masuk istana), kemudian Nur Jahan (menceritakan kehidupan Nur Jahan setelah masuk istanan hingga menjadi ratu), lalu Jahanara (menceritakan kehidupan sultan Syah Jahan dan Mumtaz Mahal, pendirian Taj Mahal dan kehidupan Jahanara, putri sulung Syah Jahan dan Mumtaz Mahal).
BalasHapusMenurut catatan penulisnya, beliau sudah melakukan riset sejarah pada saat menulis novel tersebut, jadi mungkin memang tidak banyak jejak sejarah kebesaran islam saat itu yang bisa ditemukan. Saya sendiri penasaran dengan sejarah perkembangan islam pada masa kesultanan mughal ini (yg notabene merupakan kesultanan islam terbesar sepanjang sejarah india).
Memang menarik kalau mempelajari cerita sejarah2 kerajaan islam maupun sejarah lainnya dibelahan bumi ini. Hanya saja kurang jelasnya sumber atau keautentikan dari cerita sejarah tsb trkadang membuat prtanyaan dan tanda tanya besar akan kebenaran yg sesungguhnya. Karena memang tdk dpt dipungkiri pasti ada saja pihak (tokoh2 dlm sejarah) yg berusaha menyulitkan trtulisnya sejarah tsb dizaman itu. Saya yg masih berumur 17thn pun ingin sekali menggali sebanyak-banyaknya ilmu baru, Salam kenal untuk semua~
BalasHapusSejarah selalu memihak penguasa..
BalasHapus