Judul: Keep The Tiger in The
Closet
Penulis: Fanny Herdina
Penerbit: Raih Asa Sukses
Tahun Terbit: Cetakan 1, Jakarta,
2011
Jumlah Halaman: iv + 220
ISBN: 978-979-013-164-4
Baru-baru ini terjadi pembunuhan
yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya yang berusia 7 tahun, gara-gara si
anak berebut pakaian dengan kakaknya. Sang ayah yang kesal, memukul kepala
anaknya dengan kayu hingga meninggal dunia. Si anak meninggal di pangkuan
ayahnya. Sebelum meninggal, si anak meminta maaf kepada ayahnya karena sudah
membuat ayahnya kesal. Sebagai Ibu, tentu saja saya ikut sedih. Saya bisa
merasakan kekesalan sang ayah melihat anak-anaknya bertengkar. Sang ayah pasti
tak berniat membunuh anaknya, tapi emosi terlalu dalam menguasai dirinya. Sang ayah
pasti tak mengira bahwa pukulannya dapat mengambil nyawa sang anak.
Sebagai ibu yang 24 jam berada di
rumah untuk mengasuh anak-anak, saya merasakan betul kekesalan melihat
anak-anak berantem. Alhamdulillah, saya masih dijauhkan dari tindakan emosional
yang merenggut nyawa anak. Bukan apa-apa. Anak-anak itu kalau sudah berantem,
tak hanya saling memukul tapi juga berteriak-teriak dan berlarian ke sana
kemari, terutama mencari perlindungan dari ibunya. Ibunya hanya satu, anaknya
ada tiga. Tiga-tiganya minta perlindungan di saat ibunya sedang masak.
Bagaimana coba? Alhasil, ibunya ikut teriak-teriak, “Diam! Diam ya semua! Awas
kalau nggak mau diam nanti Mama---“
Rupanya, pada saat saya sedang
marah-marah begitu, harimau ungu yang ada di dalam tubuh saya menampakkan diri.
Harimau ungu? Apa pula itu? Ya, harimau tapi yang berwarna ungu. Warna ungu
adalah warna kesukaan banyak orang. Sedangkan harimau adalah binatang buas yang
dibenci banyak orang. Lalu, bagaimana jika harimaunya berwarna ungu? Buas tapi
indah dilihat? Harimau ungu bersembunyi di kantong-kantong kulit orang dewasa,
terutama orang tua. Tanda-tanda bila harimau ungu sedang muncul, diantaranya:
sering membentak anak, tidak mau mendengarkan anak, melakukan kekerasan fisik
dan psikis terhadap anak, lebih memilih main ponsel daripada berbicara dengan
anak, dan sebagainya.
Menggunakan metafora seekor
harimau ungu, Fanny Herdina, seorang praktisi parenting dan hypnosis membagikan
ilmu parentingnya. Gaya penulisan buku ini juga unik, karena Fanny
menganalogikan mengasuh dan mendidik anak ibarat mendaki gunung dan tebing
tinggi. Butuh persiapan, peralatan, mental, dan fisik yang mumpuni. Setiap awal
bab diceritakan layaknya seorang pendaki gunung yang akan mendaki. Judul-judul
bab pun menggunakan nama-nama alam: GUA, GUNUNG, SUNGAI, dan TEBING. Gaya
bahasa penulis seperti seorang trainer yang sedang memberikan bimbingan secara
langsung; akrab, hangat, meski sering kali menyentil para orangtua (termasuk
saya). Ada beberapa ilmu dan istilah baru dalam dunia parenting yang saya pelajari,
diantaranya:
Anchor = jangkar = weker = tombol
mental. Anchor adalah jangkar bawah sadar yang membuat kita mengalami kembali.
Anchor ada positif dan negatif. Anchor apa yang tertanam di dalam jiwa anak
bila mengingat orangtuanya? Tatapan penuh kasih? Pelukan hangat? Kata-kata
lembut? Hati-hati, anchor dapat tersimpan terus di alam bawah sadar dan diingat
terus oleh anak-anak. (halaman 96)
Reframing atau mengganti label,
yaitu proses menukar perspektif kita saat melihat sebuah kenyataan. Contohnya, anak
yang suka membantah, orangtua mengganti label tersebut dengan “belajar punya
otoritas.” Niscaya dengan begitu, anak-anak akan selalu terlihat positif dan
punya kelebihan di mata orangtua. (halaman
102)
Pengasuhan kongruen, pengasuhan
yang membuat orangtua harus menyesuaikan kata-katanya dengan tindakan dan
ekspresinya. Jadi, kalau menyuruh anak agar tidak sering menonton teve, orang
tua juga tidak boleh sering-sering menonton televisi. (halaman 137)
Dan masih banyak lagi ilmu
parenting lainnya yang bisa kita pelajari dari buku ini. Walaupun ada satu
materi yang kurang saya setujui, yaitu tentang penggunaan kata “Jangan” pada
anak. Allah Swt juga menggunakan kata “jangan” bila menyangkut larangan
terhadap maksiat. Contohnya, “jangan berbuat zina, jangan minum khamr, dan
lain-lain.” Jadi, tak ada salahnya memakai kata “jangan” untuk memberikan
peringatan kepada anak-anak terhadap hal-hal yang berbahaya.
Dan ini pesan penulis kepada para
orangtua:
“Siapa bilang pendidikan tanggungjawab pemerintah? Pendidikan, ya
tanggung jawab orangtua dong.” (halaman
214).
sepertinya menarik. ceritanya unik gitu..
BalasHapusduh keren banget ini bukunya, tp udah 4 tahun yg lalu ya terbitnya... pingin baca juga...
BalasHapusmakasih reviewnya mak :)