Judul: Jalan Cinta Para Pejuang
Penulis: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro U Media
Tahun Terbit: 2008
Jumlah Halaman: 334
ISBN: 979-1273-08-1
Seandainya tak ada tantangan
membaca buku Islam, pasti buku ini masih belum saya baca juga meskipun saya
sudah memilikinya sejak lima tahun lalu. Buku ini hanya teronggok di dalam
lemari buku saya, padahal penulisnya sangat terkenal. Saya memang lebih suka
membaca buku fiksi daripada nonfiksi. Terus,
kenapa beli buku ini? Buku ini tidak beli, melainkan hadiah dari sebuah lomba. Beberapa
hari yang lalu, saya mencoba membacanya secara konsisten, dari halaman pertama
sampai terakhir. Tak disangka, setiap selesai membaca beberapa halaman, saya
akan mengucap, “Masya Allah…!” Luar biasa isi buku ini. Berisi untaian nasihat
ruhani yang memang saya butuhkan. Dijamin rasa galau apa pun akan musnah
setelah membacanya.
Kebetulan pula, saya membaca buku
ini di bulan Februari, bulan di mana sebagian orang merayakan Valentine’s Day
sebagai hari raya cinta. Apa itu cinta? Sebuah rasa yang hanya ditujukan kepada
lawan jeniskah? Penulis memulai langkah pertama dalam buku ini dengan membahas
tentang cinta tragedi yang melegenda: Romeo dan Juliet, Layla Majnun, Sam Pek
Eng Tay, dan sebagainya. Kisah-kisah klasik yang disebut penulis sebagai
GILALOVA, gila karena cinta. Romeo rela meminum racun demi cintanya kepada
Juliet, Qais menjadi gila karena ditinggalkan Layla, Sam Pek menyusul Eng Tay
ke dalam kubur, dan sebagainya. Apakah kita ingin meniru mereka? Kisah-kisah
cinta itu adalah kisah cinta yang klasik, tapi bukan kisah untuk masa depan.
Cinta yang mereka rasakan adalah penyakit yang memakan jiwa dan raga. Bukan
cinta yang sesungguhnya.
Lalu, apa cinta yang
sesungguhnya? Bacalah QS. Al Maidaah
ayat 54: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang
melepas ikatan kesetiaan dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Ia cintai, dan mereka pun mencintai-Nya.”
Jalan cinta para pejuang adalah
jalan kesetiaan dan pengorbanan. Komitmen adalah ikrar kerelaan berkorban,
memberi bukan meminta, berinisiatif tanpa menunggu, memahami dan bukan
menuntut. Komitmen adalah ikatan kesetiaan. (halaman 38).
Nah, jadi, jangan percaya kepada
pasangan kekasih Anda jika mereka tidak berani berkomitmen dalam sebuah
pernikahan dan hanya menjalin hubungan dalam ikatan tak jelas semacam pacaran. Sebab,
cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dimulai dengan komitmen.
Pada langkah kedua, penulis
menjabarkan teori-teori ilmiah soal cinta, yang butuh dipahami benar-benar
karena bahasanya lumayan tinggi. Barangkali inilah salah satu kekurangan buku
ini, yang menjabarkan istilah-istilah ilmiah dengan bahasa dewa, atau memang
kapasitas otak saya yang kurang. Saya lebih suka membaca langkah pejuang cinta
berikutnya, yang berisi kisah-kisah keteladanan sahabat nabi dan orang-orang
saleh dalam berkomitmen terhadap cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Kisah-kisah
membuat saya berkaca pada diri sendiri yang masih belum sempurna mewujudkan
cinta.
Penulis memprediksi, setelah tren
lelaki metroseksual yang dipelopori oleh David Beckham, selanjutnya akan muncul
tren lelaki uberseksual, yang jauh lebih baik daripada metroseksual. Bila
lelaki metroseksual hanya mementingkan penampilan fisik yang justru memicu
homoseksual, maka lelaki uberseksual adalah tipe lelaki yang peduli pada nilai dan prinsip hidup. Mereka lebih
memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang dimilikinya. Mereka
inilah yang akan menjadi para pejuang cinta yang sesungguhnya.
Di jalan cinta para pejuang,
kehadiran musuh adalah suatu niscaya. Pada masa awal dakwahnya, Rasulullah juga
memiliki banyak musuh. Lalu, apa sajakah
yang diperlukan oleh para pejuang cinta dalam mewujudkan cinta? Penulis
menyebutkan empat tahapan, yaitu: Visi,
Gairah, Nurani, dan Disiplin. Kesemuanya
itu telah dipraktekkan oleh para sahabat dan orang-orang saleh.
Inilah uniknya jalan cinta para
pejuang. Betapapun syahid adalah cita tertinggi, tapi ia tak boleh menjadi hawa
nafsu. (halaman 140)
Di jalan cinta para pejuang, ada
gairah seperti Khadijah, ada gairah seperti Aisyah. (halaman 174)
Di jalan cinta para pejuang, kita
bertanggungjawab atas setiap perasaan kita. (halaman 180)
Di jalan cinta para pejuang,
cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja
cinta yang dilakukan oleh amal salih kita. (halaman 184)
Di jalan cinta para pejuang,
sejak awal kita mengikrarkan bahwa kita semua milik Allah, dan hanya kepada-Nya
kita akan kembali. (halaman 191)
Di jalan cinta para pejuang,
bersabarlah, bersyukurlah. (halaman 282)
Buku yang sarat kisah keteladanan
Rasulullah, sahabat, dan orang-orang saleh ini perlu dibaca untuk kita yang
masih larut dalam cinta semu. Menyadarkan kembali akan tujuan kita diciptakan
ke dunia, yaitu mengabdi kepada Allah Swt.
Saya baca buku ini pas jaman masih kuliah mbak, dan suka banget... :)
BalasHapus