Minggu, 15 Februari 2015

Jalan Cinta Para Pejuang


Judul: Jalan Cinta Para Pejuang
Penulis: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro U Media
Tahun Terbit: 2008
Jumlah Halaman: 334
ISBN: 979-1273-08-1

Seandainya tak ada tantangan membaca buku Islam, pasti buku ini masih belum saya baca juga meskipun saya sudah memilikinya sejak lima tahun lalu. Buku ini hanya teronggok di dalam lemari buku saya, padahal penulisnya sangat terkenal. Saya memang lebih suka membaca buku fiksi daripada nonfiksi.  Terus, kenapa beli buku ini? Buku ini tidak beli, melainkan hadiah dari sebuah lomba. Beberapa hari yang lalu, saya mencoba membacanya secara konsisten, dari halaman pertama sampai terakhir. Tak disangka, setiap selesai membaca beberapa halaman, saya akan mengucap, “Masya Allah…!” Luar biasa isi buku ini. Berisi untaian nasihat ruhani yang memang saya butuhkan. Dijamin rasa galau apa pun akan musnah setelah membacanya.


Kebetulan pula, saya membaca buku ini di bulan Februari, bulan di mana sebagian orang merayakan Valentine’s Day sebagai hari raya cinta. Apa itu cinta? Sebuah rasa yang hanya ditujukan kepada lawan jeniskah? Penulis memulai langkah pertama dalam buku ini dengan membahas tentang cinta tragedi yang melegenda: Romeo dan Juliet, Layla Majnun, Sam Pek Eng Tay, dan sebagainya. Kisah-kisah klasik yang disebut penulis sebagai GILALOVA, gila karena cinta. Romeo rela meminum racun demi cintanya kepada Juliet, Qais menjadi gila karena ditinggalkan Layla, Sam Pek menyusul Eng Tay ke dalam kubur, dan sebagainya. Apakah kita ingin meniru mereka? Kisah-kisah cinta itu adalah kisah cinta yang klasik, tapi bukan kisah untuk masa depan. Cinta yang mereka rasakan adalah penyakit yang memakan jiwa dan raga. Bukan cinta yang sesungguhnya.

Lalu, apa cinta yang sesungguhnya? Bacalah QS. Al Maidaah ayat 54: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang melepas ikatan kesetiaan dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Ia cintai, dan mereka pun mencintai-Nya.”

Jalan cinta para pejuang adalah jalan kesetiaan dan pengorbanan. Komitmen adalah ikrar kerelaan berkorban, memberi bukan meminta, berinisiatif tanpa menunggu, memahami dan bukan menuntut. Komitmen adalah ikatan kesetiaan. (halaman 38).

Nah, jadi, jangan percaya kepada pasangan kekasih Anda jika mereka tidak berani berkomitmen dalam sebuah pernikahan dan hanya menjalin hubungan dalam ikatan tak jelas semacam pacaran. Sebab, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang dimulai dengan komitmen.

Pada langkah kedua, penulis menjabarkan teori-teori ilmiah soal cinta, yang butuh dipahami benar-benar karena bahasanya lumayan tinggi. Barangkali inilah salah satu kekurangan buku ini, yang menjabarkan istilah-istilah ilmiah dengan bahasa dewa, atau memang kapasitas otak saya yang kurang. Saya lebih suka membaca langkah pejuang cinta berikutnya, yang berisi kisah-kisah keteladanan sahabat nabi dan orang-orang saleh dalam berkomitmen terhadap cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Kisah-kisah membuat saya berkaca pada diri sendiri yang masih belum sempurna mewujudkan cinta.

Penulis memprediksi, setelah tren lelaki metroseksual yang dipelopori oleh David Beckham, selanjutnya akan muncul tren lelaki uberseksual, yang jauh lebih baik daripada metroseksual. Bila lelaki metroseksual hanya mementingkan penampilan fisik yang justru memicu homoseksual, maka lelaki uberseksual adalah tipe lelaki yang peduli pada  nilai dan prinsip hidup. Mereka lebih memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang dimilikinya. Mereka inilah yang akan menjadi para pejuang cinta yang sesungguhnya.

Di jalan cinta para pejuang, kehadiran musuh adalah suatu niscaya. Pada masa awal dakwahnya, Rasulullah juga memiliki  banyak musuh. Lalu, apa sajakah yang diperlukan oleh para pejuang cinta dalam mewujudkan cinta? Penulis menyebutkan empat tahapan, yaitu: Visi, Gairah, Nurani, dan Disiplin. Kesemuanya itu telah dipraktekkan oleh para sahabat dan orang-orang saleh.

Inilah uniknya jalan cinta para pejuang. Betapapun syahid adalah cita tertinggi, tapi ia tak boleh menjadi hawa nafsu. (halaman 140)
Di jalan cinta para pejuang, ada gairah seperti Khadijah, ada gairah seperti Aisyah. (halaman 174)
Di jalan cinta para pejuang, kita bertanggungjawab atas setiap perasaan kita. (halaman 180)
Di jalan cinta para pejuang, cinta adalah kata kerja. Biarlah perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal salih kita. (halaman 184)
Di jalan cinta para pejuang, sejak awal kita mengikrarkan bahwa kita semua milik Allah, dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. (halaman 191)
Di jalan cinta para pejuang, bersabarlah, bersyukurlah. (halaman 282)

Buku yang sarat kisah keteladanan Rasulullah, sahabat, dan orang-orang saleh ini perlu dibaca untuk kita yang masih larut dalam cinta semu. Menyadarkan kembali akan tujuan kita diciptakan ke dunia, yaitu mengabdi kepada Allah Swt. 


1 komentar:

  1. Saya baca buku ini pas jaman masih kuliah mbak, dan suka banget... :)

    BalasHapus