Judul: Temui
Aku di Surga
Penulis: Ella
Sofa
Penerbit:
Quanta, Elex Media
Tahun Terbit:
Cetakan I, Juni 2013
ISBN: 97806020213606
Tebal: vii+279
hal
Di televisi
secara nyata ditayangkan intrik-intrik perebutan kekuasaan di kalangan eksekutif
dan legislatif. Politik itu kejam, demikian ungkapan yang sering terdengar.
Demi menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan, tokoh-tokoh partai
saling menjatuhkan satu sama lain dengan melakukan tindakan-tindakan negatif baik
berupa pemutarbalikan fakta, fitnah harta dan wanita, permainan media, sampai
hal-hal di luar logika seperti menggunakan jasa dukun dan bahkan membunuh lawan
politiknya.
Ternyata, intrik-intrik
politik itu tak hanya terjadi pada pemerintah pusat, melainkan juga sampai ke
daerah. Contohnya, intrik politik yang terjadi pada pemilihan Kepala Desa. Malik
dan Yudho adalah dua sahabat yang digambarkan memiliki wajah dan perawakan
mirip satu sama lain, meski terlahir dari orang tua yang berbeda. Malik adalah
anak dari keluarga menengah ke atas, sedangkan Yudho adalah anak dari keluarga
miskin. Malik sempat menjadi anak nakal, bergabung dengan geng motor yang hobi
membuat kerusakan dan bertempur dengan geng motor lawan. Yudho sebaliknya,
seorang pemuda baik-baik yang ikut
mencari nafkah untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Yudho yang semula bekerja di toko pemasangan kaca,
diajak oleh Malik untuk membuat usaha sendiri. Hal ini membuat geram Solikin,
mantan bos Yudho. Sementara itu, orang tua Malik bercita-cita mencalonkan
anaknya menjadi Petinggi Desa (Kepala Desa) karena petinggi yang sudah
memerintah dirasa tak becus. Contohnya, jalanan desa semakin rusak, sementara
pemasukan desa dipakai foya-foya oleh Kepala Desa.
Sayangnya,
rencana pencalonan Malik tak berjalan lancar, karena pemuda itu keburu dibunuh
oleh orang lain dalam tabrak lari. Yudho pun digadang-gadang oleh orang tua
Malik dan sesepuh desa yang menginginkan perbaikan desa, sebagai calon Kepala
Desa selanjutnya. Mereka menyumbang dana untuk pencalonan Yudho dan berharap
kondisi desa akan menjadi lebih baik dengan terpilihnya Yudho.
Tanda manis dari penulisnya :-) |
Membaca novel ini, wawasan kita
menjadi terbuka bahwasanya permainan politik itu benar-benar ada: politik uang,
ancaman pembunuhan, pemakaian jasa preman untuk mengancam (di sini disebutkan
sebagai orang abangan), bahkan memakai jasa dukun, di mana Kepala Desa yang
lama memakai Jas Ontokusumo untuk memikat pemilih. Bila pemilihan Kepala Desa
saja sudah mengandung intrik yang sedemikian rupa, bagaimana dengan pemilihan
anggota legislatif dan eksekutif pusat? Tentu dapat kita dapat ambil kesimpulan
bahwa kasus-kasus politik yang ramai di media massa hanyalah bagian dari intrik
para penguasa untuk memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaannya.
Setting novel di Jepara juga amat
terasa dari logat para tokohnya yang kental, seperti panggilan “Nang” untuk
anak laki-laki dan gaya menulis sang novelis yang mengentak-entak, khas Jepara.
Tak heran karena penulisnya pun asli Jepara. Pembaca dibuat penasaran mengenai
misteri di balik kematian Malik dan kegagalan Yudho menduduki posisi Kepala
Desa walaupun sudah didukung oleh sebagian besar penduduk desa. Kita juga bisa
belajar dari semangat dan tekad Yudho yang anak orang tidak mampu, untuk
mencapai taraf hidup yang lebih baik dengan bekerja keras dan bercita-cita
melanjutkan sekolahnya sampai jenjang yang lebih tinggi.
wow.. ada intrik politiknya..
BalasHapus