Judul: A Cup of
Tea for Writer
Penulis: Triani
Retno A, Herlina Dewi, dkk
Penerbit:
Stiletto Book
Tahun Terbit:
September, 2012
Halaman: 200
ISBN:
978-602-7572-06-5
“Gagal lagi..
gagal lagi… sepertinya menjadi penulis bukan jalanku….”
Kalimat di atas
itu berasal dari status facebook seorang teman. Oooh.. rupanya dia ingin jadi penulis, soalnya
saya belum tahu ada bukunya. Perasaan hopeless,
stress, depresi dan sebagainya dalam menjalani profesi penulis bukanlah milik
teman itu seorang. Banyak lho teman-teman saya lainnya yang dihinggapi
kemalasan, writer block, sampai
berhenti menulis gara-gara tulisannya tidak juga berjodoh dengan media dan
penerbit. Saya juga kadang-kadang masih sempat kepikiran untuk “berhenti”
ketika menemukan hambatan-hambatan baik dari orang lain maupun diri sendiri.
Sayangnya, saya tidak pernah bisa untuk berhenti menulis karena sudah
mendarahdaging di dalam diri saya. Ada atau tidak ada apresiasi, saya tetap
butuh menulis. Sebab, menulis itu passion,
bukan profesi. Menulis itu kebutuhan jiwa, setidaknya bagi saya.
Nah, bagi kamu
yang sedang malas menulis karena merasa belum mendapatkan hasil apa-apa dari
menulis atau hambatan-hambatan lainnya, perlu membaca buku ini: A Cup of Tea for Writer, salah satu
seri A Cup of Tea yang diterbitkan oleh Stiletto Book ini bercerita tentang
perjuangan para penulis dalam menggeluti passionnya.
Menjadi penulis itu memang tidak mudah. Butuh kesabaran dan kekuatan mental
untuk menjalaninya. Naskah tidak selesai, naskah ditolak, tidak ada apresiasi
dari pembaca, royalty kecil, dan sebagainya. Tak mudah untuk menjadi penulis
buku best seller dan dikenal banyak
orang. Tak mudah untuk menulis sebuah buku yang bakal diperbincangkan oleh
seluruh dunia. Jangankan seluruh dunia, seluruh Indonesia saja sudah bagus.
Para penulis di
dalam buku ini membagi kisah perjuangannya menjadi penulis. Ketika membaca
kisah mereka, saya mendapatkan semangat lagi untuk menulis, menulis, dan
menulis. Ternyata semua penulis mengalami jatuh bangun dalam merintis passionnya. Kisah dibuka oleh Triani Retno, dalam beberapa pertanyaan
yang mungkin kita pernah mendapatkannya juga:
“Novel kamu ada yang sudah difilmkan?”
“Belum.”
“Yaaah kok
belum sih? Gak keren ah kalau belum difilmkan.”
“Novel kamu udah laku berapa eksemplar?”
“Hmm… masih jauh dari jutaan eksemplar.”
“Yaaah payah! Buku kamu kan udah banyak, kok
belum sampai satu juta eksemplar? Kayak Rowling, dong. Bukunya laku sampai
jutaan eksemplar.” (halaman 1)
Lalu, mengapa
masih menulis jika belum banyak yang kita hasilkan? “Menulis membuat saya menjadi lebih berarti dan bermanfaat bagi orang
lain.” (halaman 7).
Hambatan yang
sering kali datang kepada calon penulis adalah ketidaksetujuan orang tua,
terutama ayah. Mengapa? Karena menulis belum dianggap sebagai pekerjaan yang
menghasilkan materi. Apa sih yang bisa didapatkan dari menulis? Orang lain
hanya tahu kita mengetik, berdiam diri di kamar, tidak bersosialisasi,
bagaimana mau dapat uang? Beberapa penulis di dalam buku ini juga menceritakan
pengalamannya saat mendapatkan penentangan dari orang tua.
“Penulis itu tidak bisa hidup sejahtera di
negeri ini. Masa depanmu akan suram kalau kamu memilih jadi penulis!” (halaman 8), amarah ayah dari Ririe Rengganis. “Cukup! Apa yang mau kauharapkan dari menulis? Kaya? Berapa banyak penulis kaya? Yang ada kamu bakal jadi
gembel!” (halaman 81), amarah
papa dari Monica Anggen. Namun,
mereka tetap bersikukuh memilih jalan hidup sebagai penulis dan telah
membuktikan keberhasilannya.
Ollie (Halimatussa’diyah) berdiri di
depan kelas menulis yang diikutinya dan menyebutkan mimpinya dalam lima tahun
ke depan. “Lima tahun lagi saya akan
menjadi penulis terkenal. Orang akan mengenali saya di mal-mal dan meminta
tanda tangan…” (halaman 36). Ollie
tetap percaya diri meskipun seisi kelas menertawakannya (dia yang belum menjadi
penulis apa pun). Ternyata, keberaniannya untuk menyatakan mimpinya di hadapan
orang banyak itu telah membuatnya sungguh-sungguh menjadi penulis terkenal.
Sebagai ibu
rumah tangga yang penulis, cerita dari Dian
Kristiani cukup “menampar” saya. Walaupun saya belum mengalami seperti yang
dialami beliau, tapi saya tahu ada beberapa ibu-ibu penulis yang memaksakan
diri untuk menulis sampai jatuh sakit.
Menulis itu memang pekerjaan yang sangat menyenangkan sampai kita sering
tidak tahu diri dan waktu. Kita tidak menyadari bahwa kita telah duduk
berjam-jam untuk menulis dan melewatkan banyak hal.
Saya juga pernah
mengalami ketika dikejar oleh “tulisan” lalu mengabaikan anak-anak. Alasan “deadline” menjadi pemicu, padahal deadline itu kita tentukan sendiri. Dian memaksa untuk menyambar semua tawaran
penerbit dengan deadline ketat, tanpa
mempertimbangkan bahwa dia memiliki tugas lain yang juga lebih penting. Anak-anak
diabaikan, pekerjaan rumah tangga ditinggalkan, kesehatan tubuh tidak
dipedulikan. Sampai Tuhan menegurnya dengan melumpuhkan seluruh tubuhnya dan
hanya bisa berbaring di tempat tidur.
“Aku bersyukur Tuhan segera menegurku lewat
penyakit ini. Aku tak ingin ditegur lewat sesuatu yang menyedihkan, misalnya
anak sakit, anak bandel, atau suami selingkuh. Aduh, jangan deh. Sejak itu aku
berkomitmen untuk menulis dengan hati senang, tak ada beban, dan kembali ke
niat awal.” (halaman 72)
Dan masih banyak
lagi kisah perjuangan para penulis yang dapat menghangatkan hati, menyemangati,
dan memotivasi setiap calon penulis maupun penulis. Disertai juga tips-tips
menulis dari Reda Gaudiamo. Mungkin
beberapa penulis di dalam buku ini belum kita kenal, karena memang naskah ini
disusun melalui audisi naskah, tetapi kisah-kisah mereka tetap menyentuh dan
menyemangati, bahkan barangkali membuat kita tersentil, “Wah, ini sih gue
banget!” Di setiap akhir kisah diberikan quote dan kutipan menarik, seperti
ini:
“Punya uang dan nama besar tentu
menyenangkan. Namun, jauh lebih menyenangkan berbahagia bersama orang-orang
yang mencintaiku dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.” (Dian Kristiani, halaman 73)
Buku yg pasti menginspirasi :) Aku baru hampir 5 tahun menulis, dan naik turun semangat juga kualami. Terutama ketika sedang merasa jd emak yg buruk, hehe. Makanya, aku memilih untuk 'menomorduakan' karier menulis dulu. Mungkin kelak jika anak sdh mandiri, aku akan ngebut :D
BalasHapusjudulnya pas banget ya, a cup of tea for a writer. isinya serasa kita meneguk teh manis hangat berisi penyemangat di hari hujan
BalasHapusbuku yang bagus
BalasHapusMakasih resensinya, Mbak Leyla. :)
BalasHapusBelum punya buku ini. Hiks. Jadi pengin. E tapi kemarin2 mau tobat beli buku yang berhubungan dengan penulisan. Entahlah, mungkin saya mulai bosan, Mbak.
BalasHapusKeren bukunya. Memotivasi ^^
BalasHapus