Penulis: Ade Anita
Penerbit: Quanta, Elex Media
Tahun Terbit: 2013
ISBN: 986020221120
Halaman: 440
Solasfiana dan keluarganya
tinggal di rumah keluarga besar Nek Nang Basyumi, kakek dari pihak Ayah.
Ayahnya, Aslam adalah putra bungsu kakeknya yang sering mendapatkan perlakuan
tidak adil akibat cacat fisik yang dialaminya. Sebelah matanya tidak berfungsi,
serta kakinya pincang. Ibunya, Mak Pinah, pun menderita kelumpuhan sehingga
harus berjalan dengan mengesot, usai melahirkan adik kembarnya: Marsyapati dan
Isfahan. Syukurlah, Tuhan masih bersikap adil kepada keluarga itu. Meskipun
Aslam tidak disekolahkan dan kemudian hanya menjadi pemanjat kelapa,
anak-anaknya menjadi anak-anak yang cerdas dan berprestasi. Solasfiana bahkan
mewakili sekolahnya dalam lomba Cepat Tepat IPA.
Suatu ketika, Aslam menemukan
surga durian di sebuah pohon. Pohon-pohon durian yang sedang berbuah itu tidak
ada yang memiliki. Aslam berniat memetiknya bersama Isfahan, sebagai anak
lelaki satu-satunya, pada tengah malam buta, agar tidak dipergoki oleh para
penduduk. Jika para penduduk mengetahuinya, harta durian itu tidak akan menjadi
milik Aslam sendiri. Bahkan, dia mungkin hanya akan menjadi pemetiknya saja.
Sayang, sebuah kecelakaan
merenggut nyawa Aslam, sehingga dia tak sempat menikmati harta karun yang sudah
dinanti-nantikannya itu. Sejak itu, Solasfiana dan adik-adiknya menjadi yatim,
dan posisi mereka semakin terdesak oleh ketidaksenangan kakak-kakak Aslam,
terutama setelah mereka dikabarkan mendapatkan uang tunai yang luar biasa
banyak dari hasil penjualan buah durian.
Mulanya adalah mimpi buruk Wak
Hasni bahwa dia akan dibunuh oleh Mak Pinah. Disusul oleh kematian beberapa
orang tetangga setelah melihat benda semacam santet. Tuduhan pun mengarah
kepada Mak Pinah, dan ujung-ujungnya adalah pengusiran warga terhadap keluarga
Mak Pinah. Bayangkan, sebuah keluarga tanpa bapak, anak-anak yang masih remaja,
dan seorang ibu yang lumpuh, harus berjalan jauh mencari tempat tinggal lain
yang bersahabat. Mereka pun harus tinggal di bekas kandang ayam sebuah keluarga
yang dermawan.
Tuduhan santet itu tentu hanya
mengada-ada, karena Mak Pinah adalah seorang yang taat beragama dan tidak
macam-macam. Solasfiana dan adik-adiknya merasa dendam terhadap warga yang
telah bertindak tidak adil kepada mereka. Namun, perlahan rasa dendam itu
memudar dan mereka dapat memaafkan orang-orang yang sudah berlaku zalim. Ada
banyak nilai moral yang disampaikan oleh novel bersetting pedalaman Sumatera
Selatan ini. Penulis mampu menceritakannya dengan baik dan detil, sehingga kita
dapat merasakan emosi Solasfiana sekeluarga, serta latar tempat dengan
maksimal.
Tidak mudah melupakan perbuatan
orang-orang yang sudah menzalimi kita. Teringat penderitaan Solasfiana
sekeluarga yang harus meninggalkan rumah mereka dengan membawa harta seadanya.
Bahkan, surat-surat penting pun tak dibawa karena khawatir hilang selama dalam
perjalananan. Isfahan harus menggendong ibundanya yang lumpuh, sepanjang
perjalanan. Mencari tempat berteduh dari guyuran hujan dan panas matahari. Hingag
tibalah di bawah rumah panggung pasangan suami istri yang dermawan. Perjuangan
Solasfiana dan adik-adiknya untuk bertahan hidup, patut diacungi jempol. Dengan
modal seadanya, mereka membangun usaha. Ujian belum selesai, karena Isfahan
terkena penyakit diabetes di usia muda. Sungguh banyak pelajaran yang bisa kita
ambil dari novel ini, sebuah novel inspiratif yang menggugah hati.
kisah ini mengharukan ya, Mbak..
BalasHapusSubhanallah, keluarga Solasfiana sungguh tegar dan sabar.