Selasa, 21 Januari 2014

A Cup of Tea for Writer: Menyemangati Para Penulis


Judul: A Cup of Tea for Writer
Penulis: Triani Retno A, Herlina Dewi, dkk
Penerbit: Stiletto Book
Tahun Terbit: September, 2012
Halaman: 200
ISBN: 978-602-7572-06-5

“Gagal lagi.. gagal lagi… sepertinya menjadi penulis bukan jalanku….”

Kalimat di atas itu berasal dari status facebook seorang teman.  Oooh.. rupanya dia ingin jadi penulis, soalnya saya belum tahu ada bukunya. Perasaan hopeless, stress, depresi dan sebagainya dalam menjalani profesi penulis bukanlah milik teman itu seorang. Banyak lho teman-teman saya lainnya yang dihinggapi kemalasan, writer block, sampai berhenti menulis gara-gara tulisannya tidak juga berjodoh dengan media dan penerbit. Saya juga kadang-kadang masih sempat kepikiran untuk “berhenti” ketika menemukan hambatan-hambatan baik dari orang lain maupun diri sendiri. Sayangnya, saya tidak pernah bisa untuk berhenti menulis karena sudah mendarahdaging di dalam diri saya. Ada atau tidak ada apresiasi, saya tetap butuh menulis. Sebab, menulis itu passion, bukan profesi. Menulis itu kebutuhan jiwa, setidaknya bagi saya.


Nah, bagi kamu yang sedang malas menulis karena merasa belum mendapatkan hasil apa-apa dari menulis atau hambatan-hambatan lainnya, perlu membaca buku ini: A Cup of Tea for Writer, salah satu seri A Cup of Tea yang diterbitkan oleh Stiletto Book ini bercerita tentang perjuangan para penulis dalam menggeluti passionnya. Menjadi penulis itu memang tidak mudah. Butuh kesabaran dan kekuatan mental untuk menjalaninya. Naskah tidak selesai, naskah ditolak, tidak ada apresiasi dari pembaca, royalty kecil, dan sebagainya. Tak mudah untuk menjadi penulis buku best seller dan dikenal banyak orang. Tak mudah untuk menulis sebuah buku yang bakal diperbincangkan oleh seluruh dunia. Jangankan seluruh dunia, seluruh Indonesia saja sudah bagus.

Para penulis di dalam buku ini membagi kisah perjuangannya menjadi penulis. Ketika membaca kisah mereka, saya mendapatkan semangat lagi untuk menulis, menulis, dan menulis. Ternyata semua penulis mengalami jatuh bangun dalam merintis passionnya. Kisah dibuka oleh Triani Retno, dalam beberapa pertanyaan yang mungkin kita pernah mendapatkannya juga:

“Novel kamu ada yang sudah difilmkan?”
“Belum.”
“Yaaah kok  belum sih? Gak keren ah kalau belum difilmkan.”
“Novel kamu udah laku berapa eksemplar?”
“Hmm… masih jauh dari jutaan eksemplar.”
“Yaaah payah! Buku kamu kan udah banyak, kok belum sampai satu juta eksemplar? Kayak Rowling, dong. Bukunya laku sampai jutaan eksemplar.” (halaman 1)

Lalu, mengapa masih menulis jika belum banyak yang kita hasilkan? “Menulis membuat saya menjadi lebih berarti dan bermanfaat bagi orang lain.” (halaman 7).

Hambatan yang sering kali datang kepada calon penulis adalah ketidaksetujuan orang tua, terutama ayah. Mengapa? Karena menulis belum dianggap sebagai pekerjaan yang menghasilkan materi. Apa sih yang bisa didapatkan dari menulis? Orang lain hanya tahu kita mengetik, berdiam diri di kamar, tidak bersosialisasi, bagaimana mau dapat uang? Beberapa penulis di dalam buku ini juga menceritakan pengalamannya saat mendapatkan penentangan dari orang tua.

“Penulis itu tidak bisa hidup sejahtera di negeri ini. Masa depanmu akan suram kalau kamu memilih jadi penulis!” (halaman 8), amarah ayah dari Ririe Rengganis. “Cukup! Apa yang mau kauharapkan dari menulis? Kaya? Berapa  banyak penulis kaya? Yang ada kamu bakal jadi gembel!” (halaman 81), amarah papa dari Monica Anggen. Namun, mereka tetap bersikukuh memilih jalan hidup sebagai penulis dan telah membuktikan keberhasilannya.

Ollie (Halimatussa’diyah) berdiri di depan kelas menulis yang diikutinya dan menyebutkan mimpinya dalam lima tahun ke depan. “Lima tahun lagi saya akan menjadi penulis terkenal. Orang akan mengenali saya di mal-mal dan meminta tanda tangan…” (halaman 36). Ollie tetap percaya diri meskipun seisi kelas menertawakannya (dia yang belum menjadi penulis apa pun). Ternyata, keberaniannya untuk menyatakan mimpinya di hadapan orang banyak itu telah membuatnya sungguh-sungguh menjadi penulis terkenal.

Sebagai ibu rumah tangga yang penulis, cerita dari Dian Kristiani cukup “menampar” saya. Walaupun saya belum mengalami seperti yang dialami beliau, tapi saya tahu ada beberapa ibu-ibu penulis yang memaksakan diri untuk menulis sampai jatuh sakit.  Menulis itu memang pekerjaan yang sangat menyenangkan sampai kita sering tidak tahu diri dan waktu. Kita tidak menyadari bahwa kita telah duduk berjam-jam untuk menulis dan melewatkan banyak hal.

Saya juga pernah mengalami ketika dikejar oleh “tulisan” lalu mengabaikan anak-anak. Alasan “deadline” menjadi pemicu, padahal deadline itu kita tentukan sendiri.  Dian memaksa untuk menyambar semua tawaran penerbit dengan deadline ketat, tanpa mempertimbangkan bahwa dia memiliki tugas lain yang juga lebih penting. Anak-anak diabaikan, pekerjaan rumah tangga ditinggalkan, kesehatan tubuh tidak dipedulikan. Sampai Tuhan menegurnya dengan melumpuhkan seluruh tubuhnya dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.


“Aku bersyukur Tuhan segera menegurku lewat penyakit ini. Aku tak ingin ditegur lewat sesuatu yang menyedihkan, misalnya anak sakit, anak bandel, atau suami selingkuh. Aduh, jangan deh. Sejak itu aku berkomitmen untuk menulis dengan hati senang, tak ada beban, dan kembali ke niat awal.” (halaman 72)

Dan masih banyak lagi kisah perjuangan para penulis yang dapat menghangatkan hati, menyemangati, dan memotivasi setiap calon penulis maupun penulis. Disertai juga tips-tips menulis dari Reda Gaudiamo. Mungkin beberapa penulis di dalam buku ini belum kita kenal, karena memang naskah ini disusun melalui audisi naskah, tetapi kisah-kisah mereka tetap menyentuh dan menyemangati, bahkan barangkali membuat kita tersentil, “Wah, ini sih gue banget!” Di setiap akhir kisah diberikan quote dan kutipan menarik, seperti ini:

“Punya uang dan nama besar tentu menyenangkan. Namun, jauh lebih menyenangkan berbahagia bersama orang-orang yang mencintaiku dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.” (Dian Kristiani, halaman 73)
                                                            

6 komentar:

  1. Buku yg pasti menginspirasi :) Aku baru hampir 5 tahun menulis, dan naik turun semangat juga kualami. Terutama ketika sedang merasa jd emak yg buruk, hehe. Makanya, aku memilih untuk 'menomorduakan' karier menulis dulu. Mungkin kelak jika anak sdh mandiri, aku akan ngebut :D

    BalasHapus
  2. judulnya pas banget ya, a cup of tea for a writer. isinya serasa kita meneguk teh manis hangat berisi penyemangat di hari hujan

    BalasHapus
  3. Makasih resensinya, Mbak Leyla. :)

    BalasHapus
  4. Belum punya buku ini. Hiks. Jadi pengin. E tapi kemarin2 mau tobat beli buku yang berhubungan dengan penulisan. Entahlah, mungkin saya mulai bosan, Mbak.

    BalasHapus