Selasa, 28 Januari 2014

Teatrikal Hati: Ketika Semua Tokoh Bermonolog


Judul: Teatrikal Hati
Penulis: Rantau Anggun dan Binta Al Mamba
Penerbit: Quanta
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 362
ISBN: 978-602-022-6279

Alhamdulillah akhirnya saya bisa menyelesaikan membaca novel tebal ini yang sudah beberapa bulan lalu dikirimkan oleh penulisnya langsung kepada saya, cihuuuiii…. Ini novel perdana (yang berhasil diterbitkan) karya Rantau Anggun dan Binta Al Mamba.


Sebenarnya saya kebagian membaca naskahnya sebelum dikasih ke penerbit, tapi saya harus jujur mengakui bahwa saya hanya baca beberapa bab pertama saja. Begitulah, kalau disuruh ngasih kritikan, biasanya saya cuma minta beberapa bab di awal dan akhir. Lah wong baca naskah versi cetak saja saya mesti butuh waktu lama, apalagi baca versi digital. Bisa panas duduk di depan komputer terus (karena waktu itu belum ada laptop). Udah gitu, penulisnya juga minta buru-buru, ehehehe…. Konon kata penulisnya, masukan saya untuk bab awal itu benar-benar diterapkan.

Well, saya gak mau sok tau di review ini ya. Saya juga masih harus banyak belajar. Jadi, Teatrikal Hati itu tentang apa sih? Kalau mengikuti taglinenya sih tentang perempuan antara cinta, obsesi, mimpi, dedikasi, dan lika-liku perjalanan nurani. Intinya, tentang  perempuan. Memang, novel ini menceritakan tentang kehidupan empat perempuan lintas generasi: Setyani (nenek), Linda (ibu), Gwen (tante), dan Zahra (anak). Sudut pandang penulisan menggunakan orang pertama, alias AKU. Jadi, semua tokohnya bermonolog, menceritakan tentang diri dan kehidupannya.

Setyani, seorang wanita yang dijodohkan secara paksa oleh Harjun Notodiningrat. Harjun pun sebenarnya tidak rela menikah dengan Setyani, sehingga pada kehidupan pernikahannya, melakukan banyak kezaliman terhadap anak dan istrinya, seperti memukul (bahkan memukul Gwen yang masih kanak-kanak), dan berselingkuh. Setyani bersikap layaknya istri yang sabar dan menerima semua perlakuan suaminya. Padahal, Setyani ini anak seorang Kyai.

Linda, anak Setyani yang lembut dan penyabar, akhirnya juga dijodohkan paksa oleh Bagas, seorang dokter. Bagas tidak romantis dan sibuk, sehingga membuat Linda kesepian. Apalagi mereka tidak juga dikaruniai anak setelah sepuluh tahun menikah.

Gwen, adik Setyani, adalah korban kekerasan Harjun. Dia pun menjadi gadis yang keras, pembangkang, dan merasa hampir gila. Dia sering bermimpi tentang seorang lelaki yang menemaninya bermain di waktu kecil. Dia menolak pernikahan karena membenci laki-laki akibat trauma terhadap bapaknya.

Zahra adalah anak Linda (akhirnya Linda punya anak), yang bekerja sebagai artis, kemudian beralih menjadi sutradara film. Dia akan memfilmkan novel Linda yang berdasarkan kisah nyata dan bersetting di Wonosalam, desa penghasil durian.

“Novel ini seperti kepingan-kepingan puzzle. Pelan-pelan menyatu, lalu menjadi utuh. Duet yang manis.” (Shabrina Ws, Penulis Novel).

Novel ini memang seperti kepingan-kepingan puzzle di mana semua tokoh menceritakan kehidupannya masing-masing secara bergantian, lalu inti ceritanya pun menyatu di bagian akhir. Saya pernah juga membaca novel sejenis yang berkisah tentang empat perempuan yang bermonolog, yaitu GARIS PEREMPUAN, karya Sanie B. Koentjoro. Sama-sama bersetting di daerah Jawa Tengah. Saya bukan hendak membandingkan kedua novel itu ya, tetapi mari kita belajar dari novel Sanie yang lebih teratur, indah, dan terasa emosinya.

Pertama, di dalam novel Garis Perempuan (GP), hanya empat tokoh utama itu saja yang bermonolog, keempat perempuan yang memiliki benang merah, yaitu mempertanyakan soal keperawanan. Di novel Teatrikal Hati, semua tokohnya bermonolog. Ya, semuanya, termasuk juga Harjun dan Bagas. Sudah tentu ini akan memberikan kebingungan bagi pembaca. Penulis pun akan kesulitan menampilkan karakter setiap tokoh dalam dialog mereka. Maka, tak heran jika monolog mereka pun singkat-singkat. Jika mengikuti novel GP yang fokus pada inti cerita: keperawanan, maka semestinya di dalam novel TH, hanya perlu tiga tokoh yang bermonolog: Setyani, Linda, dan Zahra, karena mewakili tiga generasi (nenek, ibu, dan anak). Tapi, cerita yang lebih menarik justru kisah GWEN. Gwen yang mengalami kekerasan fisik dan paranoia. Tokoh Linda kurang kuat karakternya, dan tokoh Setyani tenggelam oleh banyak porsi kisah Gwen. Seandainya cerita ini masih bisa diubah, lebih enak membahas kisah Setyani, Gwen, dan Zahra. Kisah Linda bisa disatukan dengan Gwen, jadi si Linda itu ditiadakan. Apa pun, itu hanya imajinasi saya belaka sebagai reviewer, hehehe …..

Kedua, begitu banyaknya tokoh yang “penting,” sampai saya bingung siapakah tokoh utamanya? Jika membaca prolognya yang memuat monolog Zahra, begitu juga pada bab pertama, saya mengira Zahra adalah tokoh utamanya. Tetapi, yang paling banyak mengambil porsi cerita adalah Linda dan Gwen. Meskipun Linda banyak bertutur, cerita yang paling menarik dan kuat adalah cerita Gwen. Dengan demikian, jumlah halaman yang sudah tebal pun (362 halaman) tidak cukup membuat kisah-kisahnya mendalam dan detil.

Ketiga, menggunakan sudut pandang AKU memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada DIA (Pov 3). Belum lagi dengan setting waktu yang berpindah-pindah seenaknya, membingungkan pembaca karena harus bolak-balik melihat tanggalnya. Setting tempat di Wonosalam juga tidak tergarap  maksimal.

Masalahnya adalah, saya membandingkan novel Teatrikal Hati dengan novel Garis Perempuan, tentu saja saya keliru. Ya, saya keliru, karena Sanie B. Koentjoro adalah penulis senior, sedangkan Rantau Anggun dan Binta Al Mamba baru memulai debut mereka dalam menulis novel. Sebagai karya perdana, Teatrikal Hati telah cukup ditulis dengan rapi, tanpa kesalahan ketik, dan mengusung cerita yang cukup bagus. Rantau Anggun adalah penulis potensial dengan kemampuan berbahasanya yang kaya, dia akan bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik lagi. Sedangkan Binta Al Mamba mampu menulis dengan bahasa yang ringan, membumi, dan mengandung pesan. Mari nikmati monolog hati ke semua tokoh di dalam novel ini.  



4 komentar:

  1. Makasiih mbak, masukanya sungguh berharga.
    Jadi salting disandingkan mbak Sanie :D
    Semoga doa2 baiknya diijabah Allah utk mbak Leyla juga, aamiin :)

    BalasHapus
  2. makasih mbaakk.. jadi pengen baca buku garis perempuan itu.. asli baru tahu :D
    masukannya berharga banget, buat bekal menulis yg berikutnya.. jazakumullah mbak :)

    BalasHapus
  3. Penasaran pengen baca novel ini Mbak jadinya...

    BalasHapus